Puasa Ramadan: Perspektif Neurosains tentang Peningkatan Fungsi Kognitif dan Spiritual

Puasa Ramadan: Perspektif Neurosains tentang Peningkatan Fungsi Kognitif dan Spiritual

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Dr. Taruna Ikrar, dalam ceramah Ramadan di Masjid As-Salam Kantor BPOM, Jakarta, baru-baru ini, memaparkan perspektif neurosains mengenai manfaat puasa. Lebih dari sekadar ibadah ritual, Dr. Ikrar, yang juga seorang ilmuwan neurosains, menekankan aspek peningkatan kualitas diri secara spiritual, mental, dan fisik yang dihasilkan dari praktik puasa. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman ayat Al-Quran yang mengaitkan ibadah puasa dengan pembentukan karakter bertakwa.

Secara psikologis, puasa dijelaskan sebagai latihan psikis yang membentuk kepribadian yang lebih baik dan disiplin yang lebih kuat. Proses menahan diri dari berbagai hal, termasuk makanan dan minuman, merupakan proses penajaman pengendalian diri yang berdampak positif pada aspek-aspek kehidupan lainnya. Disiplin yang terbangun selama bulan Ramadan ini akan membantu individu dalam berbagai aspek kehidupannya, membentuk karakter yang lebih terkendali dan mengurangi tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Lebih lanjut, Dr. Ikrar menjelaskan manfaat puasa dari perspektif neurosains melalui tiga mekanisme utama:

  1. Neurosinaptik: Puasa mendorong otak untuk beradaptasi dengan kondisi baru. Proses ini, menurut Dr. Ikrar, dapat melatih otak untuk berpikiran positif. Dengan konsistensi berpuasa selama sebulan penuh, pola pikir negatif seperti mudah marah dapat berangsur-angsur digantikan dengan kesabaran dan pengendalian emosi yang lebih baik. Perubahan ini terjadi melalui pembentukan koneksi saraf baru yang menguatkan pola pikir positif.

  2. Neurogenesis: Puasa memicu proses regenerasi sel-sel saraf (neuron) di otak. Proses otofagi, yaitu proses pembersihan dan daur ulang sel-sel yang rusak, diyakini meningkat selama puasa, sehingga sel-sel saraf baru yang lebih sehat dapat terbentuk. Hal ini berdampak pada peningkatan daya ingat dan fungsi kognitif secara keseluruhan, membuat otak terasa lebih segar dan mampu memproses informasi dengan lebih efisien.

  3. Neurokompensasi: Puasa membantu otak untuk beradaptasi dan meningkatkan plastisitasnya. Plastisitas otak, kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi, cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Namun, melalui proses pembiasaan selama puasa, kemampuan adaptasi dan kinerja otak dapat ditingkatkan, sehingga otak tetap berfungsi optimal meskipun usia semakin bertambah. Latihan ini akan memperkuat kemampuan otak dalam berbagai hal, termasuk kemampuan belajar dan mengingat informasi.

Dr. Ikrar menyimpulkan bahwa puasa Ramadan bukan hanya ibadah ritual semata, tetapi juga merupakan proses yang bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental. Manfaat tersebut, jika dijalankan dengan niat yang tulus dan konsisten, akan menghasilkan pribadi yang lebih mulia, cerdas, dan bertaqwa, sejalan dengan tujuan puasa sebagaimana tercantum dalam Al-Quran. Ia mengajak seluruh jemaah untuk menjalankan ibadah puasa dengan kesadaran akan manfaat komprehensifnya tersebut, baik dari sudut pandang spiritual maupun neurosains.