Dugaan Alih Fungsi Lahan PTPN di Puncak Bogor: DPR Desak Transparansi dan Akuntabilitas
Dugaan Alih Fungsi Lahan PTPN di Puncak Bogor: DPR Desak Transparansi dan Akuntabilitas
Anggota Komisi VI DPR RI, Abdul Hakim Bafagih, mendesak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset, khususnya terkait dugaan alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor. Desakan ini disampaikan menyusul bencana banjir besar yang melanda Jabodetabek awal Maret 2025, yang diduga salah satunya dipicu oleh alih fungsi lahan tersebut. Pernyataan tersebut disampaikan Hakim dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR dan Direksi Holding PTPN III (Persero) dan PTPN I di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/3/2025).
Hakim secara tegas meminta PTPN untuk mengungkap identitas para oknum yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan lahan negara seluas kurang lebih 500 hektare di kawasan Gunung Mas, Puncak. Ia menyoroti praktik okupasi lahan yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut, yang menurutnya telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kerugian yang signifikan. "PTPN seharusnya fokus pada optimalisasi aset melalui penyewaan, bukan penjualan lahan," tegas Hakim. "Publik berhak mengetahui siapa oknum yang terlibat dalam praktik ini." Ia menambahkan bahwa dampak dari alih fungsi lahan ini sangat nyata, dengan kerugian material dan hilangnya nyawa akibat banjir yang terjadi. Hakim bahkan menyinggung adanya bayi yang menjadi korban dalam bencana tersebut.
Lebih lanjut, Hakim mengkritik budaya internal PTPN yang dinilai masih feodal dan kurang transparan. Ia mempertanyakan kinerja Direktur Utama Holding PTPN 3, Muhammad Abdul Ghani, yang dinilai terus-menerus harus menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan oleh bawahannya. "Sampai kapan Pak Ghani harus terus membersihkan kesalahan anak buahnya?" tanya Hakim dengan nada keras. Ia pun mengapresiasi langkah cepat dari Menko Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol, dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam meruntuhkan bangunan ilegal di kawasan tersebut. Namun, menurut Hakim, langkah tersebut hanya bersifat reaktif dan tidak menyelesaikan akar permasalahan yang ada.
Hakim juga menyoroti proyek Hibisc Park, yang dikerjasamakan dengan pihak swasta di lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VIII. Ia menilai proyek ini sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan lahan negara. Awalnya disetujui seluas 15,46 hektare, namun melalui adendum, luas lahan yang digunakan meningkat menjadi lebih dari 21 hektare. "Ini adalah contoh nyata bagaimana oknum mencari jalan pintas dan mengabaikan aturan," ujar Hakim. Ia mempertanyakan komitmen PTPN dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan usaha perkebunan, mengingat komoditas seperti teh, kopi, dan karet masih memiliki pasar yang jelas.
Sementara itu, Direktur Utama Holding PTPN 3, Muhammad Abdul Ghani, mengakui adanya kelalaian dalam pengelolaan lahan di kawasan Puncak. Ia menjelaskan bahwa dari total luas HGU PTPN di kawasan Gunung Mas sebesar 1.623 hektare, sekitar 500 hektare (31 persen) telah diokupasi. Okupasi tersebut terdiri dari lahan yang ditanami sayuran dan lahan yang digunakan untuk pembangunan vila liar. Ghani juga menyebutkan adanya kerjasama dengan 33 mitra di lahan seluas 306 hektare, sementara 235,52 hektare digunakan untuk tanaman teh. Sisanya merupakan lahan cadangan yang akan diremajakan untuk perbaikan ekosistem. Ghani menyatakan bahwa PTPN telah memiliki rencana untuk menyelesaikan masalah ini dan telah mendapatkan dukungan dari Kementerian ATR/BPN untuk menertibkan lahan yang telah dikuasai secara ilegal.
Kesimpulannya, permasalahan alih fungsi lahan di PTPN Puncak Bogor bukan hanya masalah pengelolaan aset semata, tetapi juga menyangkut aspek hukum, lingkungan, dan transparansi pemerintahan. DPR mendesak PTPN untuk segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan masalah ini dan memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang terlibat. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci penting dalam mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.