Alih Fungsi Lahan PTPN di Puncak: Komisi VI DPR Soroti Peran PTPN dan Mitra dalam Bencana Banjir Jabodetabek
Alih Fungsi Lahan PTPN di Puncak: Faktor Penyebab Banjir Jabodetabek?
Rapat kerja Komisi VI DPR RI dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) pada Rabu (19/3/2025) mengungkap peran krusial alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor, sebagai salah satu pemicu banjir besar yang melanda Jabodetabek awal Maret lalu. Anggota Komisi VI, Sadarestuwati, secara tegas menyatakan bahwa alih fungsi lahan yang dilakukan PTPN bersama mitra kerjanya, PT Jaswita, tidak memperhitungkan dampak lingkungan secara cermat. Pengubahan lahan perkebunan teh menjadi area wisata, disertai pembangunan infrastruktur yang masif, telah mengurangi daya serap air tanah secara signifikan, sehingga memperparah dampak curah hujan tinggi. "PTPN telah mengakui adanya kesalahan dalam hal alih fungsi lahan," ujar Sadarestuwati, menekankan perlunya evaluasi menyeluruh atas kebijakan tersebut.
Lebih lanjut, Sadarestuwati menyoroti kurang bijaknya pembangunan infrastruktur wisata yang meluas di kawasan Puncak. Konsep wisata agribisnis yang telah ada dinilai sudah cukup baik dan berkelanjutan. Pembangunan besar-besaran yang menghilangkan area resapan air justru meningkatkan kerentanan terhadap bencana banjir. "Berkurangnya area resapan air akibat pembangunan yang tidak terkendali merupakan salah satu faktor utama penyebab meluasnya dampak banjir di Jabodetabek," tegasnya. Ia pun mendesak PTPN untuk segera melakukan evaluasi internal, mengembalikan fungsi lahan yang seharusnya tetap menjadi perkebunan, dan melakukan penanaman kembali untuk mengganti tanaman yang telah hilang. Komitmen untuk memperbaiki kesalahan dan mengembalikan fungsi lahan sebagai upaya mitigasi bencana menjadi tuntutan utama Komisi VI.
Direktur Utama Holding PTPN III, Muhammad Abdul Ghani, mengakui kelalaian dalam pengelolaan lahan di Puncak. Ia menyatakan bahwa banjir besar di awal Maret telah menjadi "alarm" atas kealpaan PTPN dalam mengawasi mitra kerjanya, PT Jaswita. PT Jaswita terbukti telah membangun area seluas 21.000 meter persegi (2,1 hektar), melebihi izin yang diberikan sebesar 5.000 meter persegi oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Ketidakpatuhan PT Jaswita terhadap izin pembangunan ini merupakan bukti nyata kelemahan pengawasan PTPN dalam kerjasama kemitraan. Ghani mengakui kesalahan PTPN dalam hal pengawasan ini dan menekankan perlunya perbaikan sistem manajemen kerja sama dengan mitra ke depan. "PTPN mengakui kesalahan ini dan bertanggung jawab untuk mengoreksi kekurangan tersebut," ujarnya dalam rapat tersebut.
Kesimpulannya, rapat kerja Komisi VI DPR RI dengan PTPN menggarisbawahi perlunya perencanaan tata ruang yang komprehensif dan berkelanjutan, serta pengawasan yang ketat terhadap aktivitas pembangunan di kawasan rawan bencana. Kejadian banjir besar di Jabodetabek menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap proyek pembangunan, termasuk alih fungsi lahan. Ke depan, kerjasama antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sangat krusial dalam membangun sistem mitigasi bencana yang efektif dan terintegrasi. Pengawasan yang ketat dan penerapan sanksi tegas terhadap pelanggaran peraturan menjadi kunci untuk mencegah terulangnya bencana serupa di masa mendatang.
Perlu adanya upaya restorasi lahan dan peningkatan kapasitas resapan air untuk meminimalisir dampak buruk dari alih fungsi lahan di masa depan.