Harga MinyaKita Meroket: Pemerintah Didorong untuk Intervensi Pasar dan Reformasi Tata Kelola Industri Sawit
Harga MinyaKita Meroket: Pemerintah Didorong untuk Intervensi Pasar dan Reformasi Tata Kelola Industri Sawit
Lonjakan harga minyak goreng, khususnya merek MinyaKita, terus menghantui masyarakat Indonesia. Fenomena yang berulang setiap bulan Ramadhan ini semakin membebani ekonomi keluarga, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan fluktuasi harga minyak sawit, harga MinyaKita di pasar tradisional dan modern melonjak signifikan, jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta (UPNVJ), Freesca Syafitri, menyoroti pentingnya intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga MinyaKita. Menurutnya, masyarakat berhak mendapatkan akses terhadap minyak goreng dengan harga terjangkau, mengingat daya beli yang semakin tergerus oleh tekanan ekonomi.
Perlunya Intervensi Pemerintah yang Komprehensif
Freesca menjelaskan bahwa pemerintah memiliki kapasitas untuk menurunkan HET MinyaKita kembali ke angka Rp 14.000 per liter. Namun, hal ini memerlukan serangkaian kebijakan intervensi yang kuat, meliputi:
- Subsidi Tambahan: Pemerintah dapat memberikan subsidi langsung kepada produsen MinyaKita untuk menekan biaya produksi.
- Penguatan Mekanisme DMO dan DPO: Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) perlu diperkuat untuk memastikan pasokan minyak sawit mencukupi kebutuhan dalam negeri.
- Insentif Fiskal: Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal kepada produsen yang berkomitmen untuk memproduksi dan mendistribusikan MinyaKita dengan harga terjangkau.
Namun, Freesca mengingatkan bahwa intervensi harga saja tidak cukup. Reformasi distribusi dan pengawasan yang ketat juga diperlukan untuk mencegah kelangkaan dan praktik spekulasi yang merugikan konsumen.
Reformasi Tata Kelola Industri Sawit: Kunci Jangka Panjang
Freesca menyoroti bahwa industri minyak sawit dan minyak goreng di Indonesia didominasi oleh segelintir perusahaan besar yang mengendalikan seluruh rantai pasok. Orientasi ekspor yang menguntungkan korporasi sering kali mengorbankan pasokan domestik, menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga.
"Reformasi tata kelola industri menjadi keharusan, dengan regulasi ketat untuk membatasi dominasi korporasi, meningkatkan transparansi rantai pasok, serta memberikan insentif bagi petani kecil," tegasnya.
Penjelasan Kementerian Perdagangan
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iqbal Shoffan Shofwan, mengungkapkan bahwa praktik curang pengurangan volume MinyaKita oleh distributor dan repacker menjadi salah satu penyebab lonjakan harga. Keterbatasan akses terhadap minyak goreng dari skema DMO memaksa repacker untuk mencari alternatif lain, termasuk mengurangi volume atau menggunakan minyak komersial yang lebih mahal.
Iqbal menjelaskan bahwa distribusi minyak goreng rakyat bergantung pada kesepakatan bisnis (B2B) antara produsen dan repacker. Tidak semua repacker mendapatkan pasokan minyak DMO, sehingga mereka terpaksa menggunakan minyak komersial yang harganya lebih tinggi. Akibatnya, harga MinyaKita di pasaran bisa mencapai Rp 17.000 hingga Rp 18.000 per liter, jauh di atas HET yang ditetapkan.
Evaluasi HET MinyaKita
Mengenai kemungkinan kenaikan HET MinyaKita, Iqbal menyatakan bahwa keputusan tersebut masih dalam tahap evaluasi. Penentuan HET melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk produsen, distributor, dan repacker. Meskipun harga bahan baku minyak goreng mengalami kenaikan, produsen MinyaKita sejauh ini masih bersedia menanggung selisih biaya yang timbul akibat kebijakan DMO.
Kesimpulan
Lonjakan harga MinyaKita merupakan masalah kompleks yang membutuhkan solusi komprehensif. Intervensi pemerintah melalui subsidi, penguatan DMO dan DPO, serta insentif fiskal dapat membantu menstabilkan harga dalam jangka pendek. Namun, reformasi tata kelola industri sawit yang meliputi pembatasan dominasi korporasi, peningkatan transparansi rantai pasok, dan pemberdayaan petani kecil adalah kunci untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan minyak goreng bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam jangka panjang. Pemerintah perlu bertindak cepat dan tepat untuk mengatasi masalah ini demi menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat.