Masjid Agung Demak: Pilar Sejarah dan Tradisi Ramadhan di Jantung Jawa

Masjid Agung Demak: Saksi Bisu Kejayaan Islam dan Tradisi Luhur di Tanah Jawa

Masjid Agung Demak, berdiri megah sebagai salah satu monumen bersejarah tertua di Pulau Jawa, bukan sekadar bangunan ibadah, melainkan juga cerminan akulturasi budaya dan simbol penting dalam penyebaran agama Islam. Didirikan pada abad ke-15 oleh Raden Fatah, pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Demak, masjid ini menjadi pusat syiar Islam yang berpengaruh dan saksi bisu perjalanan panjang peradaban.

Arsitektur yang Kaya Makna

Keunikan Masjid Agung Demak terpancar dari arsitekturnya yang khas. Struktur bangunan berbentuk limas dengan atap bertumpang tiga merepresentasikan konsep mendalam tentang iman, Islam, dan ihsan. Puncak mustaka pada atap melambangkan keyakinan bahwa kekuasaan tertinggi hanya milik Allah SWT, sang pencipta alam semesta.

Sejarah mencatat bahwa Masjid Agung Demak pertama kali dibangun pada tahun 1446 Masehi oleh para Walisongo, tokoh-tokoh penyebar agama Islam yang legendaris. Kemudian, pada tahun 1477 Masehi, Raden Fatah melakukan renovasi besar-besaran untuk memperluas dan memperindah bangunan masjid. Puncaknya, pada tahun 1479 Masehi, setelah resmi dinobatkan sebagai Sultan Demak, Raden Fatah kembali mempercantik masjid ini, menjadikannya pusat kegiatan keagamaan dan pemerintahan.

Tahun renovasi masjid diabadikan melalui ornamen bulus (kura-kura) yang menjadi Candra Sengkala Memet, bertuliskan "Sariro Sunyi Kiblating Gusti" yang mengandung makna tahun 1401 Saka (1479 Masehi). Ornamen ini menjadi pengingat akan sejarah dan nilai-nilai yang terkandung dalam masjid.

Masjid Agung Demak juga menyimpan ornamen yang mengisyaratkan hubungan erat antara Raden Fatah dengan Kerajaan Majapahit, kerajaan Hindu-Buddha yang pernah berjaya di Nusantara. Salah satunya adalah ornamen Surya Majapahit yang terpasang di dinding masjid. Selain itu, delapan Soko Guru (tiang utama) yang menyangga bangunan juga memiliki ukiran khas Majapahit, menunjukkan adanya pengaruh budaya yang saling berinteraksi.

Menurut legenda, Prabu Kerta Bumi (Brawijaya V), raja terakhir Majapahit, menghadiahkan sebuah pendopo dari istananya kepada Raden Fatah untuk digunakan sebagai bagian dari bangunan masjid. Hal ini semakin memperkuat hubungan simbolis antara Kesultanan Demak dan Kerajaan Majapahit.

Soko Guru: Simbol Kebijaksanaan Walisongo

Salah satu daya tarik utama Masjid Agung Demak adalah keberadaan empat Soko Guru yang merupakan tiang utama penyangga masjid. Tiang-tiang ini memiliki diameter 65 cm dan panjang 17 meter, dibuat oleh empat wali yang berbeda, yaitu:

  • Sunan Gunung Jati (sebelah barat daya)
  • Sunan Bonang (sebelah barat laut)
  • Sunan Ampel (sebelah tenggara)
  • Sunan Kalijaga (sebelah timur laut)

Soko Guru yang paling unik adalah yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Tiang ini sebagian terbuat dari tatal (serpihan kayu) yang diikat menjadi satu. Menurut Khusni Mubarok, petugas Museum Masjid Agung Demak, Soko Guru milik Sunan Kalijaga hanya utuh sepanjang 11 meter, sedangkan sisanya, sekitar 6 meter di bagian atas, disambung dengan tatal yang diikat menjadi satu.

Filosofi soko tatal melambangkan persatuan umat Islam. Serpihan-serpihan kecil yang bersatu akan menjadi kekuatan besar. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, bagian bawah 7 meter dari keempat Soko Guru mengalami perbaikan karena kerusakan akibat kapilarisasi. Potongan tiang yang diganti kini disimpan di Museum Masjid Agung Demak. Bagian atas tiang yang asli (10 meter) masih tetap digunakan hingga saat ini.

Selain Soko Guru, museum ini juga menyimpan Pintu Bledeg yang dibuat oleh Ki Ageng Selo pada tahun 1446 Masehi. Pintu ini terbuat dari kayu jati yang diukir dengan motif tumbuhan, jambangan mahkota, dan kepala binatang mitos yang menggambarkan sosok petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo.

Tradisi Nyantri Ramadhan: Menghidupkan Semangat Keagamaan

Setiap bulan Ramadhan, Masjid Agung Demak menjadi tujuan utama bagi para lansia dari berbagai daerah yang ingin mengikuti program nyantri selama sebulan penuh. Pada tahun ini, tercatat sebanyak 127 santri Ramadhan mengikuti program nyantri, termasuk 10 orang yang berusia di atas 80 tahun. Menurut KH Nur Fauzi, Ketua Takmir Masjid Agung Demak, para santri datang untuk menimba ilmu agama dan mencari keberkahan dari Sultan Fatah dan Walisongo.

Selain mengikuti pengajian rutin, para santri juga memanfaatkan momentum Ramadhan untuk memperdalam ajaran Islam dan mengamalkan ibadah secara lebih intensif. Mereka ingin mengambil pelajaran dari para ulama terdahulu dan meneladani jejak Sultan Fatah dalam menyebarkan agama Islam.

Masjid Agung Demak bukan hanya sekadar tempat ibadah, tetapi juga menjadi lokasi ziarah ke makam raja-raja Kesultanan Demak dan tokoh-tokoh penting lainnya. Masjid ini terus menjadi pusat kegiatan keagamaan dan budaya yang relevan bagi masyarakat Muslim di Jawa dan seluruh Indonesia.

Dengan sejarah panjang, arsitektur yang unik, dan tradisi luhur yang terus dijaga, Masjid Agung Demak tetap menjadi pilar penting dalam sejarah Islam di Tanah Jawa dan simbol persatuan umat Muslim.