Gelombang Penolakan Mengiringi Pengesahan Revisi UU TNI di Tengah Kontroversi
Gelombang Penolakan Mengiringi Pengesahan Revisi UU TNI di Tengah Kontroversi
Di tengah gelombang kritik dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil dan mahasiswa, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tetap mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menjadi Undang-Undang. Pengesahan ini menuai kontroversi karena dianggap berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI dan melemahkan profesionalisme TNI.
Kritik dari Masyarakat Sipil dan Mahasiswa
Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari berbagai organisasi seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kontras, Amnesty International Indonesia, dan lainnya, secara tegas menolak revisi UU TNI. Mereka menyampaikan petisi yang menyoroti pasal-pasal yang dianggap mengembalikan militerisme dan tidak memiliki urgensi untuk mentransformasi TNI menjadi lebih profesional. Salah satu poin krusial adalah penempatan perwira aktif TNI di jabatan sipil di luar yang diatur dalam undang-undang, yang mereka desak untuk segera diakhiri.
Mahasiswa juga turut menyampaikan aspirasi penolakan melalui aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI. Mereka menyoroti upaya mengembalikan dwifungsi TNI dan menyerukan supremasi sipil yang seluas-luasnya. Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, sempat melakukan audiensi dengan perwakilan mahasiswa dan berjanji akan menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah dan DPR.
Sorotan dari Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyampaikan kritik terhadap revisi UU TNI. Mereka menyoroti dua temuan utama:
- Perluasan Jabatan Sipil bagi Prajurit Aktif: Komnas HAM menilai perluasan ini berpotensi melanggar prinsip supremasi sipil dan dapat menimbulkan konflik kepentingan.
- Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit TNI: Komnas HAM berpendapat bahwa perpanjangan usia pensiun dapat menyebabkan stagnasi regenerasi kepemimpinan, inefisiensi anggaran, dan penumpukan personel tanpa kejelasan penempatan tugas. Mereka menekankan bahwa kesejahteraan prajurit seharusnya ditingkatkan melalui penguatan jaminan kesejahteraan yang komprehensif, bukan hanya dengan memperpanjang usia pensiun.
Aksi Penggerudukan Rapat Pembahasan
Bentuk penolakan lain muncul dalam aksi penggerudukan rapat pembahasan RUU TNI di sebuah hotel di Jakarta. Kelompok yang menamakan diri Koalisi Reformasi Sektor Keamanan meminta agar rapat Panja RUU TNI dihentikan karena dinilai tidak transparan dan berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI. Mereka menilai pembahasan RUU dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai.
DPR Tetap Melanjutkan Pengesahan
Kendati demikian, DPR RI tetap melanjutkan proses pengesahan RUU TNI menjadi Undang-Undang. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, mengonfirmasi bahwa RUU TNI akan disahkan dalam rapat paripurna. Keputusan ini semakin memicu kekecewaan dan kecaman dari berbagai pihak yang menganggap bahwa aspirasi masyarakat sipil dan mahasiswa tidak diindahkan.
Implikasi Pengesahan UU TNI
Pengesahan revisi UU TNI ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya peran TNI dalam ranah sipil, yang dianggap bertentangan dengan semangat reformasi dan supremasi sipil. Berbagai pihak menilai bahwa hal ini dapat mengancam demokrasi dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Oleh karena itu, pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi UU TNI ini menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa TNI tetap profesional dan tidak melampaui batas kewenangannya.
Daftar Poin Kritik Revisi UU TNI
Berikut adalah poin-poin kritik utama terhadap revisi UU TNI:
- Potensi mengembalikan dwifungsi ABRI
- Perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif
- Perpanjangan usia pensiun prajurit TNI
- Kurangnya transparansi dalam proses pembahasan
- Tidak mengindahkan aspirasi masyarakat sipil dan mahasiswa