Pengesahan RUU TNI Tuai Kritik: Akademisi Soroti Potensi Kembalinya Militerisme dan Pembatasan Kebebasan Sipil

RUU TNI Picu Kekhawatiran Akan Erosi Demokrasi

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil. RUU ini dinilai berpotensi mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak era reformasi.

Hilyatul Asfia, seorang akademisi dari Universitas Palangka Raya, secara tegas menyatakan bahwa RUU TNI tersebut melanggar amanat reformasi dan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi landasan konstitusi Indonesia. Menurutnya, perluasan peran TNI dalam ranah sipil dapat mengaburkan batas yang jelas antara kekuasaan militer dan sipil, yang merupakan fondasi penting dalam sistem demokrasi.

"Revisi UU TNI yang memberikan peran lebih luas bagi militer dalam kehidupan sipil bertentangan dengan amanat reformasi yang bertujuan menjaga netralitas militer dalam pemerintahan," ujar Asfia.

Poin-Poin Krusial yang Disoroti:

  • Potensi Militerisme: RUU ini dikhawatirkan membuka peluang bagi TNI untuk terlibat lebih jauh dalam urusan politik dan administrasi sipil, yang dapat mengarah pada militerisme dan mengikis kontrol sipil terhadap militer.
  • Ancaman Kebebasan Pers: Ketentuan dalam RUU yang memberikan wewenang lebih besar kepada TNI dalam pengawasan terhadap media menimbulkan kekhawatiran akan pembatasan kebebasan pers dan berekspresi. Potensi sensor dan intimidasi terhadap jurnalis menjadi ancaman serius bagi independensi media.
  • Intervensi HAM: RUU ini berpotensi memberikan wewenang kepada TNI untuk melakukan intervensi dalam masalah hak asasi manusia tanpa pengawasan yang memadai dari lembaga sipil yang independen. Hal ini memicu kekhawatiran mengingat pengalaman sejarah Indonesia terkait dengan pelanggaran HAM yang melibatkan TNI.

Dampak Negatif yang Diperkirakan

Asfia memperingatkan bahwa pengesahan RUU TNI tanpa revisi yang signifikan dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya:

  • Kemunduran Demokrasi: Penguatan peran militer dalam ranah politik dan sipil berpotensi mengurangi ruang bagi demokrasi dan kontrol sipil terhadap militer, mengancam perjuangan untuk menjaga Indonesia sebagai negara demokratis.
  • Pembatasan Kebebasan Pers: Pengawasan ketat dari militer terhadap media dapat mengarah pada kontrol informasi yang merugikan masyarakat, menghambat terciptanya pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
  • Ketegangan Sosial: Pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada militer dapat memperburuk ketegangan antara pemerintah dan masyarakat, serta memicu protes dari kelompok-kelompok yang menuntut perlindungan terhadap kebebasan dan hak-hak dasar.

Rekomendasi untuk Revisi

Menyikapi situasi ini, Asfia mendesak agar proses pengesahan RUU TNI dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan sejalan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi, hak asasi manusia, dan pemisahan kekuasaan. Ia mengusulkan agar RUU ini direvisi untuk:

  • Menegaskan batasan yang jelas antara peran militer dan sipil dalam sistem pemerintahan Indonesia.
  • Mengurangi ruang bagi TNI untuk mengintervensi urusan sipil dan politik.
  • Melibatkan lebih banyak pihak, seperti masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga-lembaga independen lainnya, dalam proses pembahasan RUU.

Dengan demikian, diharapkan RUU TNI dapat mencerminkan kepentingan rakyat secara luas, bukan hanya kepentingan kekuasaan politik atau militer semata. Revisi yang komprehensif dan partisipatif menjadi kunci untuk memastikan bahwa RUU ini tidak mengancam fondasi demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.

Akademisi tersebut menekankan bahwa sangat penting untuk menyeimbangkan kebutuhan keamanan negara dengan perlindungan hak-hak sipil dan kebebasan fundamental. RUU TNI yang ideal seharusnya memperkuat kemampuan TNI dalam menjaga kedaulatan negara tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.