Karyawan BUMD Pematangsiantar Terima 'Uang Sirup' Sebagai Pengganti THR: Kontroversi di Tengah Imbauan Pemerintah

Di tengah semangat menyambut Hari Raya Idul Fitri, kabar kurang menggembirakan datang dari Kota Pematangsiantar. Ratusan karyawan Perusahaan Daerah Pasar Horas Jaya (PDPHJ), sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), harus menerima kenyataan bahwa Tunjangan Hari Raya (THR) mereka diganti dengan 'uang sirup'. Praktik ini sontak menuai sorotan, terutama karena bertentangan dengan imbauan pemerintah kota terkait pembayaran THR.

Direktur Utama PDPHJ, Bolmen Silalahi, mengungkapkan bahwa tradisi 'uang sirup' ini sudah berlangsung lama di perusahaan tersebut. Menurutnya, kondisi keuangan perusahaan yang belum stabil menjadi alasan utama mengapa THR seperti yang lazim diterima karyawan di perusahaan lain, belum bisa direalisasikan. Ia menyebutkan bahwa PDPHJ mempekerjakan sekitar 254 orang, termasuk calon pegawai, pegawai tetap, dan tenaga honorer. Setiap bulan, perusahaan harus mengeluarkan sekitar Rp 328 juta untuk gaji pegawai, atau sekitar Rp 380 juta jika termasuk gaji direksi dan pengawas.

"Sejak awal berdiri, perusahaan ini belum pernah memberikan THR. Dulu, untuk menggaji karyawan saja sudah susah. Baru dua tahun belakangan ini penggajian bisa lancar. Bagaimana kami bisa membicarakan THR jika untuk membayar gaji saja sulit?" ujar Bolmen kepada awak media.

Nominal 'uang sirup' yang diberikan pun bervariasi, berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 300.000, tergantung pada kondisi keuangan perusahaan. Pembagian 'uang sirup' ini disesuaikan dengan hari raya keagamaan masing-masing karyawan. Karyawan Muslim akan menerima 'uang sirup' menjelang Idul Fitri, sementara karyawan Kristen akan menerimanya saat Natal dan Tahun Baru.

Praktik ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, terutama setelah Wali Kota Pematangsiantar mengeluarkan Surat Edaran (SE) No: 012/800.1.10.3/280/III-2025 pada 13 Maret 2025, yang mengimbau seluruh perusahaan swasta, BUMN, dan BUMD di wilayahnya untuk memberikan THR kepada para pekerja/buruh. Menanggapi SE tersebut, Bolmen menyatakan akan berkoordinasi lebih lanjut dengan pihak terkait.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kota Pematangsiantar, Robert Sitanggang, menegaskan bahwa pembayaran THR Keagamaan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha. Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2021 tentang pengupahan, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia No 6 Tahun 2016 tentang THR keagamaan bagi pekerja sebagai landasan hukumnya.

Robert menjelaskan bahwa THR wajib diberikan kepada pekerja yang telah memiliki masa kerja minimal satu bulan, baik yang berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Besaran THR yang diberikan disesuaikan dengan masa kerja. Pekerja dengan masa kerja 12 bulan atau lebih berhak menerima THR sebesar satu bulan upah, sedangkan pekerja dengan masa kerja kurang dari 12 bulan akan menerima THR secara proporsional.

Lebih lanjut, Robert memastikan bahwa perusahaan yang lalai dalam membayar THR akan dikenakan sanksi secara bertahap oleh pemerintah. Sesuai dengan Permenaker, pengusaha yang terlambat atau tidak mencairkan THR keagamaan akan dikenakan denda sebesar 5%. Dinas Ketenagakerjaan Kota Pematangsiantar juga telah membuka posko pengaduan THR selama jam kerja untuk menampung keluhan dari para pekerja.

"Kami mengimbau para pekerja untuk memanfaatkan posko pengaduan ini dengan sebaik-baiknya. Namun, kami juga mengedepankan dialog antara pekerja dan pengusaha agar pembayaran THR dapat berjalan lancar," pungkas Robert.

Kasus 'uang sirup' di PDPHJ Pematangsiantar ini menjadi contoh bagaimana implementasi kebijakan THR masih menghadapi tantangan di lapangan. Diperlukan pengawasan yang lebih ketat dan koordinasi yang lebih baik antara pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja terpenuhi dengan baik, terutama menjelang hari raya keagamaan.