Oknum Polisi Sikka Terjerat Kasus Dugaan Pencabulan Anak, Ahli Hukum Angkat Bicara
Dosen Hukum Unipa Maumere Soroti Kasus Dugaan Pencabulan yang Menjerat Oknum Polisi
Kasus dugaan pencabulan yang melibatkan seorang anggota Polres Sikka, Aipda II, terhadap seorang siswi SMP berusia 15 tahun, KJN, menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak. Gregorius Cristison Bertholomeus, seorang dosen hukum dari Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere, turut memberikan tanggapannya terkait kasus yang menggemparkan ini. Laporan mengenai kasus ini telah diterima oleh Mapolres Sikka pada hari Selasa, 12 Maret 2025.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, modus operandi yang dilakukan oleh Aipda II terbilang meresahkan. Ia diduga melakukan panggilan video kepada korban dan secara vulgar menunjukkan alat kelaminnya. Tak hanya itu, melalui aplikasi pesan, pelaku juga melancarkan ajakan untuk melakukan hubungan badan, dengan iming-iming sejumlah uang sebesar Rp 1 juta jika korban bersedia memenuhi permintaannya.
Gregorius Cristison Bertholomeus menjelaskan bahwa kasus ini termasuk dalam kategori delik biasa, bukan delik aduan. Artinya, proses hukum dapat berjalan tanpa adanya aduan langsung dari korban. "Ini masuk delik biasa, bukan delik aduan. Jadi siapa pun masyarakat atau keluarga bisa melaporkan ke kepolisian atau Komnas Perlindungan Anak," tegas Gregorius saat dihubungi pada hari Kamis, 20 Maret 2025.
Ancaman Hukuman Berlapis Menanti Pelaku
Lebih lanjut, Gregorius menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Aipda II dapat dijerat dengan Pasal 76 E Juncto 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. Pasal ini mengatur tentang perlindungan anak dari tindak kekerasan dan eksploitasi seksual.
"Pada pasal 82 hukuman pidana penjara paling ringan 5 tahun, dan paling lama 15 tahun," ungkap Gregorius. Ia menambahkan bahwa ancaman hukuman bagi pelaku bisa semakin berat jika terbukti bersalah.
Tak hanya itu, Gregorius juga menyoroti potensi jeratan hukum lainnya, yaitu Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), jika pelaku terbukti melakukan penyebaran video yang mengandung unsur pornografi atau eksploitasi seksual anak.
"Ini juga termasuk kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak dengan mengajak melakukan videocall seks dengan iming-iming uang Rp 1 juta. Dan ini bisa dikategorikan perbuatan cabul," pungkas Gregorius. Kasus ini menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi, serta perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku kejahatan terhadap anak.
Poin Penting dari pernyataan Dosen Hukum Unipa Maumere, Gregorius Cristison Bertholomeus:
- Kasus ini termasuk kategori delik biasa, bukan delik aduan.
- Perbuatan pelaku bisa dikenakan Pasal 76 E Juncto 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014.
- Hukuman pidana penjara paling ringan 5 tahun, dan paling lama 15 tahun.
- Pelaku juga bisa dikenakan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) jika melakukan penyebaran video.
- Termasuk kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak dengan mengajak melakukan videocall seks dengan iming-iming uang.