Skandal 'Blending' Pertamax: Ekonom INDEF Soroti Dampak Krisis Kepercayaan dan Urgensi Penegakan Hukum
Skandal 'Blending' Pertamax: Ekonom INDEF Soroti Dampak Krisis Kepercayaan dan Urgensi Penegakan Hukum
Kasus dugaan praktik blending Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax yang mencuat ke permukaan menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, mendesak penyelesaian segera kasus ini demi memulihkan kepercayaan publik yang terkikis terhadap PT Pertamina.
"Masyarakat menanti proses hukum yang tegas dan transparan. Penegakan hukum yang adil menjadi kunci utama untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada Pertamina," tegas Abra dalam diskusi yang diselenggarakan oleh KOMPAS.com di Menara Kompas, Jakarta.
Dampak Luas pada Iklim Investasi Migas
Abra memperingatkan bahwa kasus ini berpotensi memberikan dampak yang luas terhadap ekosistem investasi di sektor minyak dan gas (migas), mulai dari hulu hingga hilir. Ketidakpastian hukum dan keraguan publik dapat menghambat investasi baru dan mengganggu operasional yang sudah berjalan.
"Kasus ini bukan hanya tentang Pertamina, tetapi juga tentang kepastian hukum dan iklim investasi di sektor energi. Investor akan berpikir dua kali jika ada indikasi praktik-praktik yang tidak transparan dan merugikan negara," ujarnya.
Pemerintah Harus Turun Tangan
Lebih lanjut, Abra menyarankan agar pemerintah tidak hanya mengandalkan Pertamina dalam mengatasi krisis kepercayaan ini. Menurutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI perlu memberikan kepastian dan jaminan kepada masyarakat.
"Komunikasi publik yang efektif sangat penting, tetapi itu saja tidak cukup. Pemerintah harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi dan memastikan tata kelola yang baik di sektor energi," kata Abra.
Mitigasi risiko krisis kepercayaan juga menjadi hal yang krusial. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk meyakinkan masyarakat bahwa BBM yang dijual sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan.
Kerugian Negara Mencapai Ratusan Triliun
Kasus ini mencuat setelah Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi dalam tata kelola minyak dan produksi kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023. Kerugian negara akibat praktik ini diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, praktik korupsi yang terjadi adalah dengan membeli BBM RON 90 dengan harga RON 92, kemudian melakukan blending atau pengoplosan.
Pertamina Membantah
Di sisi lain, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, membantah adanya praktik pengoplosan Pertamax. Ia menegaskan bahwa kualitas Pertamax tetap sesuai dengan spesifikasi pemerintah, yaitu RON 92.
"Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina sudah jadi dan sesuai RON masing-masing. Pertalite memiliki RON 90, Pertamax memiliki RON 92," jelas Heppy.
Terlepas dari bantahan Pertamina, polemik ini perlu segera diakhiri. Pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memulihkan kepercayaan publik dan pasar terhadap Pertamina, serta memastikan tata kelola sektor energi yang transparan dan akuntabel.
Urgensi Penyelesaian Kasus
Penyelesaian kasus blending Pertamax ini menjadi sangat penting untuk:
- Memulihkan kepercayaan publik terhadap Pertamina dan kualitas BBM yang dijual.
- Menjaga iklim investasi di sektor migas.
- Memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.
- Mencegah praktik korupsi serupa di masa depan.
Pemerintah dan aparat penegak hukum diharapkan dapat bekerja sama secara efektif untuk menuntaskan kasus ini secepatnya dan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku.