Memahami Hukum Tukar Uang Lebaran: Antara Riba dan Transaksi Jasa dalam Perspektif Islam
Membedah Hukum Tukar Uang Lebaran: Perspektif Syariah tentang Riba dan Ijarah
Tradisi menukar uang baru menjelang Idul Fitri telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan di Indonesia. Uang baru ini umumnya digunakan sebagai hadiah (THR) bagi anak-anak, keluarga, dan kerabat terdekat. Namun, praktik ini seringkali memunculkan pertanyaan mengenai hukumnya dalam perspektif Islam, terutama terkait potensi riba.
Dua Sisi Hukum Tukar Uang dalam Islam
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum tukar uang Lebaran, tergantung pada bagaimana akad penukaran tersebut dipahami. Perbedaan ini berakar pada apakah uang dianggap sebagai komoditas yang diperdagangkan atau jasa yang diberikan.
1. Haram Jika Mengandung Riba:
Mayoritas ulama sepakat bahwa menukar uang dengan nilai yang berbeda secara tunai adalah haram karena termasuk riba. Misalnya, menukarkan Rp 100.000 dengan uang baru senilai Rp 90.000 dianggap riba jika dilakukan secara tunai. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa pertukaran barang sejenis (dalam hal ini, uang) harus dilakukan dengan nilai yang sama.
2. Mubah (Boleh) Jika Tergolong Ijarah (Jasa):
Sebagian ulama, terutama yang bermazhab Syafii, Hanafi, dan sebagian Hanbali, memperbolehkan penukaran uang dengan biaya tambahan jika dipandang sebagai transaksi ijarah (sewa jasa). Dalam hal ini, selisih nilai antara uang yang ditukarkan dan uang baru yang diterima dianggap sebagai upah atas jasa penukaran yang diberikan oleh penyedia layanan.
Landasan Hukum Ijarah dalam Penukaran Uang
Konsep ijarah didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang berhak mendapatkan imbalan atas jasa yang mereka berikan. Dalam konteks penukaran uang, penyedia jasa menanggung risiko dan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan uang baru. Oleh karena itu, mereka berhak mendapatkan upah yang wajar atas layanan tersebut.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain menjelaskan, barang terkadang mengikut sebagaimana jika seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakkannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma'qud 'alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan.
Dalam Al-Qur'an surah At-Thalaq ayat 6 juga menyebut perihal tarif atas suatu jasa. Hal ini berkenaan perempuan sebagai penyedia jasa pemberi asi (air susu ibu). Allah SWT berfirman:
... فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ ..Artinya: "Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka." (QS At-Thalaq:6)
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, Abu Bakar Al-Hisni menjelaskan bahwa "Allah SWT mengaitkan upah di situ (pada Surat At-Thalaq: 6) dengan aktivitas menyusuinya, bukan pada asinya."
Syarat dan Ketentuan Agar Tidak Terjerumus Riba
Untuk menghindari praktik riba dalam penukaran uang Lebaran, beberapa hal perlu diperhatikan:
- Niat: Pastikan biaya tambahan yang dibayarkan diniatkan sebagai upah atas jasa penukaran, bukan sebagai selisih nilai uang.
- Kesepakatan: Besaran upah jasa harus disepakati oleh kedua belah pihak (penukar dan penyedia jasa) secara transparan.
- Tidak Ada Paksaan: Tidak boleh ada unsur paksaan dalam penentuan besaran upah jasa.
Kesimpulan
Hukum menukar uang Lebaran dapat menjadi mubah (boleh) jika dipandang sebagai transaksi ijarah dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan. Namun, jika praktik tersebut mengandung unsur riba, maka hukumnya haram. Oleh karena itu, penting bagi umat Muslim untuk memahami perbedaan pandangan ini dan berhati-hati dalam melakukan penukaran uang agar tidak terjerumus dalam praktik yang dilarang oleh agama.
Wallahu a'lam.