UU TNI Era Reformasi: Menepis Anggapan Kebangkitan Dwifungsi ABRI

UU TNI Era Reformasi: Menepis Anggapan Kebangkitan Dwifungsi ABRI

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa Undang-Undang TNI yang baru disahkan sama sekali tidak mengarah pada kebangkitan kembali Dwifungsi ABRI seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Pernyataan ini muncul untuk merespon kekhawatiran yang berkembang di masyarakat, terutama dari kalangan aktivis reformasi yang gigih menentang Dwifungsi ABRI di era 1990-an.

Memahami Konsep Dwifungsi ABRI

Dwifungsi ABRI, sebuah konsep yang digagas oleh Jenderal AH Nasution, pada dasarnya adalah gagasan bahwa ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) tidak hanya bertanggung jawab atas pertahanan negara, tetapi juga memiliki peran dalam pembangunan dan pemerintahan. Namun, pada masa Orde Baru, konsep ini mengalami distorsi dan menjadi alat legitimasi bagi militer untuk mendominasi berbagai aspek kehidupan bernegara.

Praktik Dwifungsi ABRI di masa lalu ditandai dengan:

  • Penempatan perwira aktif ABRI sebagai kepala daerah tanpa melalui proses pemilihan.
  • Keberadaan Fraksi ABRI di DPR tanpa melalui pemilu, dengan jumlah anggota yang signifikan.
  • Penempatan perwira aktif ABRI di berbagai posisi strategis di kementerian dan lembaga pemerintah.
  • Keterlibatan ABRI dalam aktivitas bisnis.

Perbedaan Mendasar UU TNI Sekarang dan Dwifungsi ABRI Orde Baru

Habiburokhman menekankan perbedaan signifikan antara UU TNI saat ini dengan praktik Dwifungsi ABRI di masa lalu. UU TNI secara tegas membatasi penempatan prajurit TNI di luar struktur TNI hanya pada jabatan-jabatan yang memiliki relevansi dengan tugas dan fungsi TNI. Contohnya, penempatan di Badan Penjaga Perbatasan, Badan Keamanan Laut, Jaksa Agung Pidana Militer di Kejaksaan Agung, dan Hakim Agung Militer di Mahkamah Agung.

Pengaturan ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) TNI dalam membantu kinerja kementerian atau lembaga yang memiliki keterkaitan tugas dengan TNI. Hal ini berbeda jauh dengan praktik Dwifungsi ABRI di masa lalu yang menempatkan militer di berbagai posisi tanpa mempertimbangkan kompetensi dan relevansi.

Kontribusi TNI di Luar Pertahanan: Respons Terhadap Kondisi Darurat

Habiburokhman juga menyoroti peran TNI dalam membantu mengatasi berbagai masalah di luar bidang pertahanan, terutama dalam situasi darurat. Contohnya, keterlibatan TNI dalam penanganan pandemi Covid-19, di mana prajurit TNI dan anggota Polri membantu tenaga kesehatan dalam pelaksanaan vaksinasi, penyemprotan disinfektan, dan penyaluran bantuan.

Selain itu, TNI juga aktif terlibat dalam penanggulangan bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi. Prajurit TNI selalu hadir di garis depan untuk membantu masyarakat yang terdampak bencana.

Jaminan UU TNI: Tidak Ada Kepala Daerah dari TNI Tanpa Pemilu, Tidak Ada Fraksi TNI di DPR, dan Tidak Ada Bisnis TNI

Habiburokhman menegaskan bahwa UU TNI secara tegas melarang:

  • Prajurit TNI menjadi kepala daerah tanpa melalui Pemilu/Pilkada.
  • TNI memiliki fraksi di DPR/DPRD tanpa melalui Pemilu.
  • Prajurit TNI menduduki jabatan di kementerian atau lembaga yang tidak memiliki kaitan kerja dengan TNI.
  • TNI terlibat dalam aktivitas bisnis.

Dengan demikian, Habiburokhman menyimpulkan bahwa UU TNI saat ini sama sekali tidak mencerminkan kebangkitan kembali Dwifungsi ABRI. UU ini justru merupakan upaya untuk memperkuat profesionalisme TNI dan mengoptimalkan peran TNI dalam membantu negara dan masyarakat dalam berbagai bidang, namun tetap dalam koridor hukum dan sesuai dengan prinsip-prinsip reformasi.