Kebijakan Responsif Gender Mendesak untuk Optimalkan Peran Perempuan dalam Penanggulangan Bencana
Peran Krusial Perempuan dalam Penanggulangan Bencana: Mendesaknya Kebijakan Berperspektif Gender
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menekankan pentingnya peran perempuan dalam setiap tahapan penanggulangan bencana. Penegasan ini disampaikan dalam lokakarya nasional yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Selama ini, isu kebencanaan seringkali belum menyentuh kelompok perempuan dan penyandang disabilitas, sehingga pendekatan yang responsif gender menjadi krusial untuk memperkuat peran mereka dalam pengurangan risiko bencana.
Maliki, Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas, menjelaskan bahwa perempuan memiliki peran ganda dalam situasi bencana, tidak hanya sebagai korban yang rentan, tetapi juga sebagai pelaku aktif dan pemimpin dalam upaya penanggulangan. Peran ini meliputi fase pra-bencana (mitigasi dan kesiapsiagaan), saat bencana (tanggap darurat), hingga pasca-bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi). Kelompok penyandang disabilitas juga memerlukan perhatian dan advokasi yang sama dalam isu kebencanaan, memastikan mereka tidak terpinggirkan dalam upaya perlindungan dan pemulihan.
Kesenjangan dan Risiko yang Dihadapi Perempuan
Penanganan bencana yang efektif tidak dapat disamaratakan untuk semua kelompok. Perbedaan kebutuhan antara laki-laki, perempuan, lansia, orang sakit, dan penyandang disabilitas harus diperhatikan. BNPB mencatat bahwa perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk akses yang terbatas terhadap informasi dan sumber daya, serta adanya social exclusion yang mengurangi jaring pengaman bagi mereka.
"Perempuan dan penyandang disabilitas adalah kelompok rentan dan marjinal yang akan lebih terdampak perubahan iklim dan risiko bencana, sebab mereka memiliki akses yang terbatas dan social exclusion yang mengurangi jaring pengaman," ujar Maliki.
Oleh karena itu, penguatan jaring pengaman dan rehabilitasi inklusif yang berbasis gender sangat diperlukan. Skema yang inklusif akan memastikan bahwa kebutuhan spesifik perempuan dan penyandang disabilitas terpenuhi dalam setiap tahapan penanggulangan bencana.
Perempuan sebagai Agent of Change
Raditya Jati, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, menambahkan bahwa perempuan memainkan peran penting di saat bencana, seringkali terlibat dalam kegiatan sosial seperti membantu di dapur umum dan pos kesehatan. Selain itu, mereka juga tetap menjalankan tanggung jawab sebagai caregiver dalam keluarga. Beban dan peran perempuan cenderung meningkat saat terjadi bencana. Mereka bukan hanya objek yang harus dilindungi, tetapi juga subjek yang berperan aktif sebagai agent of change.
"Oleh karena itu, perspektif gender harus diintegrasikan ke dalam semua kebijakan dan tindakan pengurangan bencana untuk mengurangi kerentanan perempuan dalam bencana, sehingga laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam hal peningkatan kapasitas," ungkap Raditya.
Integrasi perspektif gender dalam kebijakan dan tindakan pengurangan bencana akan memastikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan terhadap dampak bencana. Hal ini memerlukan komitmen dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta, untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua kelompok rentan.