Banjir Bandang Puncak: Ancaman Pembangunan Tak Terkendali dan Urgensi Tata Kelola Lingkungan yang Efektif

Banjir Bandang Puncak: Ancaman Pembangunan Tak Terkendali dan Urgensi Tata Kelola Lingkungan yang Efektif

Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, kembali dilanda bencana banjir bandang. Kejadian yang berulang ini bukan sekadar peristiwa alam semata, melainkan cerminan dari permasalahan tata ruang dan pengelolaan lingkungan yang serius. Intensitas curah hujan tinggi memang menjadi pemicu, namun dampaknya yang dahsyat diperparah oleh pembangunan yang tak terkendali dan perubahan fungsi lahan yang signifikan di kawasan tersebut. Prof. Dr. Dwita Sutjiningsih, pakar hidrologi dari Universitas Indonesia (UI), memberikan analisis mendalam mengenai akar permasalahan ini dan solusi yang dibutuhkan.

Salah satu faktor utama yang diidentifikasi Prof. Dwita adalah meningkatnya kepadatan bangunan di Puncak. Perubahan lahan dari area resapan air menjadi kawasan kedap air akibat pembangunan masif mengakibatkan peningkatan volume aliran permukaan saat hujan. Kondisi ini diperburuk oleh topografi Puncak yang berupa pegunungan dengan kemiringan terjal, yang mempercepat aliran air dan meningkatkan potensi banjir bandang. "Hujan dengan intensitas tinggi di kawasan yang sudah padat bangunan akan menghasilkan aliran banjir yang jauh lebih besar dan deras," ungkap Prof. Dwita dalam wawancara telepon, Selasa (4/3/2025).

Lebih lanjut, beliau menjelaskan dampak perubahan tutupan lahan. Berkurangnya area hijau yang berfungsi sebagai penyerap air hujan, digantikan oleh jalan dan permukiman, mengakibatkan peningkatan signifikan volume air yang mengalir ke sungai. "Jika lahan masih didominasi kebun dan tanaman, curah hujan 100 mm mungkin hanya menghasilkan separuh sebagai aliran sungai. Namun, dengan lahan yang kedap air, 100 mm curah hujan akan langsung menjadi aliran besar," jelas Prof. Dwita.

Solusi yang ditawarkan bukan hanya sebatas pembangunan sumur resapan, yang menurut Prof. Dwita hanya efektif untuk hujan dengan intensitas rendah. Untuk menghadapi hujan lebat, infrastruktur yang mampu menampung dan mengalirkan air dengan cepat sangat krusial. Ini mencakup perluasan penampang sungai dan peningkatan kapasitas infrastruktur saluran air. "Sumur resapan tak cukup untuk mengatasi hujan lebat. Kita butuh infrastruktur yang memadai," tegasnya.

Permasalahan semakin kompleks dengan penyempitan bantaran sungai akibat pembangunan. Area yang seharusnya berfungsi sebagai ruang aliran air kini justru dimanfaatkan untuk permukiman dan bangunan lain. Akibatnya, ketika debit air meningkat, sungai yang semakin sempit tak mampu menampungnya, menyebabkan air meluap dan menimbulkan banjir. Sedimentasi sungai juga memperparah penyempitan aliran sungai.

Selain aspek infrastruktur, penegakan aturan lingkungan juga menjadi kunci. Meskipun regulasi seperti Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) telah ada, penerapannya masih lemah. Prof. Dwita menekankan perlunya pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas untuk memastikan pembangunan berkelanjutan. "Aturan sudah ada, tapi penegakannya masih lemah. Kita perlu sistem pengawasan yang lebih efektif, seperti yang diterapkan di negara maju," imbuhnya.

Kesimpulannya, bencana banjir bandang di Puncak merupakan masalah multi-dimensi yang membutuhkan pendekatan komprehensif. Solusi jangka panjang memerlukan integrasi antara pembangunan infrastruktur yang memadai, penataan ruang yang berbasis lingkungan, serta penegakan aturan yang konsisten. Dengan demikian, pembangunan di Puncak dapat berlangsung berkelanjutan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan keselamatan penduduk.