Memahami Hakikat Doa: Antara Ibadah dan Permohonan, Serta Hikmah di Balik Penundaan Jawaban

Dalam menjalani kehidupan, seringkali kita dihadapkan pada situasi ketika doa-doa yang dipanjatkan seolah tak kunjung berbuah jawaban. Kondisi ini, tak jarang, memicu perasaan kecewa dan bahkan putus asa. Namun, penting bagi kita untuk memahami hakikat doa yang sesungguhnya, serta menelaah hikmah yang mungkin tersembunyi di balik penundaan jawaban tersebut.

Menurut H. Muhammad Faiz, Lc, MA, Anggota Dewan Pengawas Syariah BTN, terdapat perbedaan mendasar antara berdoa dan meminta. Doa, dalam esensinya, merupakan ibadah. Ia adalah wujud ketundukan seorang hamba kepada Allah SWT, sebuah momen ketika hati sepenuhnya menghadap kepada Sang Pencipta. Doa yang dianjurkan agama bersifat global, mencakup permohonan akan kebaikan dunia dan akhirat, serta rezeki yang halal.

  • Doa: Bagian dari ibadah, bersifat global (keselamatan dunia akhirat, rezeki halal).

Sementara itu, permintaan seringkali didorong oleh hawa nafsu, kepentingan pribadi, dan kebutuhan duniawi. Permintaan bisa berupa permohonan akan jabatan, pangkat, atau harta tertentu. Gus Faiz menekankan bahwa Allah SWT pasti menjawab setiap doa hamba-Nya, namun belum tentu mengabulkan setiap permintaan. Bisa jadi, Allah SWT tidak memberikan apa yang kita minta, namun Dia tetap menjawab doa kita dengan cara yang mungkin belum kita pahami.

  • Permintaan: Dilatarbelakangi hawa nafsu, kepentingan pribadi, dan kebutuhan duniawi.

Kita tidak seharusnya menafsirkan doa kita berdasarkan apa yang Allah SWT berikan kepada orang lain. Kita tidak boleh membatasi keyakinan kita bahwa doa pasti dikabulkan dengan apa yang menjadi bagian dari takdir kita. Gus Faiz menjelaskan bahwa apa yang Allah SWT berikan kepada kita adalah kebaikan yang sesungguhnya. Sebaliknya, apa yang tidak Allah SWT berikan, bukan berarti Dia tidak memberi, melainkan bisa jadi itu adalah bentuk pemberian Allah SWT yang lain.

Seorang hamba yang mampu memahami mengapa dirinya tidak diberi oleh Allah SWT, akan menyadari bahwa ketidakberian itu sendiri adalah sebuah pemberian. Sebagai contoh, ketika seorang hamba tidak diberi kesehatan, namun dari situlah ia menjadi lebih banyak berzikir dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Gus Faiz berpesan agar kita tidak hanya melihat pemberian Allah SWT kepada orang lain secara lahiriah, tanpa mengetahui apa yang terjadi di baliknya. Boleh jadi, ada sesuatu yang Allah SWT berikan kepada seseorang, namun pada saat yang sama, ada hal lain yang hilang darinya. Ada orang yang diberi kenikmatan duniawi, namun dicabut kenikmatan berdoa kepada Allah SWT. Sebaliknya, ada orang yang diuji dengan berbagai kesulitan hidup, namun diberi kenikmatan bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Intinya, memahami hakikat doa sebagai ibadah dan membedakannya dari sekadar permintaan duniawi akan membantu kita menerima segala ketetapan Allah SWT dengan lapang dada. Penundaan jawaban atas doa bukanlah berarti penolakan, melainkan bisa jadi merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT yang tersembunyi, yang baru akan kita pahami di kemudian hari. Dengan terus berdoa dan bertawakal, kita menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT, yakin bahwa Dia adalah sebaik-baik perencana.