Polemik SKCK: Kementerian HAM Ajukan Penghapusan, Polri Bertahan dengan Pembenahan
Polemik SKCK: Kementerian HAM Ajukan Penghapusan, Polri Bertahan dengan Pembenahan
Jakarta – Usulan penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah memicu perdebatan sengit. Kemenkumham berpendapat bahwa SKCK berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya bagi mantan narapidana yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, sementara Polri menegaskan bahwa SKCK tetap dibutuhkan sebagai bagian dari pelayanan publik.
Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Kemenkumham, Nicholay Aprilindo, mengungkapkan bahwa usulan penghapusan SKCK ini telah disampaikan secara resmi melalui surat Menteri Hukum dan HAM, Natalius Pigai, kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Menurut Nicholay, keputusan ini didasari oleh kajian mendalam, baik secara akademis maupun praktis.
"Alhamdulillah tadi Pak Menteri sudah menandatangani surat usulan kepada Kapolri untuk melakukan pencabutan SKCK dengan kajian yang kami telah lakukan secara akademis maupun secara praktis," kata Nicholay, Jumat (21/3/2025), dikutip dari Antara.
Alasan Penghapusan SKCK
Usulan penghapusan SKCK ini bermula dari kunjungan Kemenkumham ke berbagai lembaga pemasyarakatan (lapas). Dalam interaksi dengan narapidana residivis, terungkap bahwa kesulitan mencari pekerjaan setelah bebas menjadi salah satu faktor utama yang mendorong mereka kembali melakukan tindak pidana. SKCK, yang seringkali menjadi syarat dalam proses rekrutmen kerja, dianggap sebagai penghalang utama.
Beban psikologis yang ditimbulkan oleh SKCK juga menjadi perhatian Kemenkumham. Informasi mengenai catatan kriminal dalam SKCK membuat perusahaan enggan menerima mantan narapidana, sehingga menutup peluang mereka untuk kembali ke masyarakat. "Beberapa narapidana ini juga mengeluhkan betapa dengan dibebankannya SKCK itu, masa depan mereka sudah tertutup," ujar Nicholay.
Kemenkumham berargumen bahwa setiap individu, termasuk narapidana, memiliki hak asasi yang melekat sejak lahir dan tidak dapat dicabut. Penghapusan SKCK diharapkan dapat memberikan kesempatan yang adil bagi mantan narapidana untuk membangun kembali kehidupan mereka.
Respons Polri
Polri, melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, memberikan tanggapan atas usulan Kemenkumham. Polri menegaskan bahwa SKCK lahir dari kebutuhan masyarakat, terutama sebagai salah satu persyaratan dalam melamar pekerjaan. "(SKCK) itu juga berdasarkan pada permintaan dari beberapa masyarakat untuk khususnya adalah salah satunya misalkan pelamaran dalam bekerja," ujar Trunoyudo di Mabes Polri, Jakarta, Senin (24/3/2025).
Trunoyudo menekankan bahwa SKCK merupakan bagian dari fungsi operasional Polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan diatur dalam konstitusi. Polri menyadari bahwa proses pembuatan SKCK dapat menjadi hambatan bagi sebagian masyarakat. Oleh karena itu, Polri berkomitmen untuk terus memperbaiki dan meningkatkan efisiensi pelayanan SKCK.
"Ketika ini dirasakan menghambat, tentu kita hanya memberikan suatu catatan-catatan. Karena SKCK adalah surat keterangan, catatan dalam kejahatan atau kriminalitas," kata Truno.
Landasan Hukum SKCK
Pemberian layanan SKCK diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15 Ayat 1 dan huruf K, serta dalam Peraturan Polri Nomor 6 Tahun 2023. Polri menyatakan akan mempertimbangkan masukan positif dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pelayanan SKCK kepada masyarakat.
Implikasi dan Alternatif
Polemik SKCK ini memunculkan pertanyaan penting mengenai keseimbangan antara hak asasi manusia dan kebutuhan masyarakat akan keamanan dan informasi. Jika SKCK dihapuskan, perlu ada mekanisme alternatif untuk memberikan informasi yang relevan kepada perusahaan atau instansi yang membutuhkan, tanpa melanggar hak-hak mantan narapidana.
Beberapa alternatif yang mungkin dipertimbangkan antara lain:
- Sertifikasi keterampilan: Memberikan sertifikasi keterampilan kepada mantan narapidana yang telah mengikuti pelatihan di lapas, sehingga perusahaan dapat menilai kemampuan mereka berdasarkan kompetensi, bukan hanya catatan kriminal.
- Program pendampingan: Menjalankan program pendampingan bagi mantan narapidana untuk membantu mereka mencari pekerjaan dan beradaptasi kembali ke masyarakat.
- Peningkatan koordinasi: Meningkatkan koordinasi antara lapas, lembaga pelatihan, dan perusahaan untuk memfasilitasi penempatan kerja bagi mantan narapidana.
Polemik SKCK ini menunjukkan kompleksitas dalam menyeimbangkan berbagai kepentingan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang cermat dan mempertimbangkan semua aspek untuk mencapai solusi yang adil dan efektif bagi semua pihak.