Refleksi Ramadhan: Menata Ulang Pola Makan Demi Kesadaran Diri

Refleksi Ramadhan: Menata Ulang Pola Makan Demi Kesadaran Diri

Kolumnis Abi Maulana mengajak kita merenungkan makna puasa Ramadhan lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga. Baginya, puasa adalah momentum untuk mengintrospeksi diri, khususnya terkait pola makan yang seringkali dikendalikan oleh hasrat dan ingatan akan kenikmatan sesaat. Ia mengutip ayat Al-Quran (80:24), "Falyanzuril insanu ila ta'amih," yang menekankan pentingnya manusia memperhatikan apa yang mereka makan.

Seringkali, perhatian terhadap makanan baru muncul ketika penyakit datang dan dokter memberikan daftar pantangan. Padahal, menurut Maulana, seharusnya kita lebih sadar dan selektif sejak awal. Kebiasaan makan yang buruk bukan hanya menunda kematian, tetapi juga perlahan menggerogoti kesehatan.

Mengejar Ingatan Rasa

Maulana berpendapat bahwa perilaku makan kita seringkali menyimpang dari kebutuhan alami tubuh. Kita tidak lagi mengonsumsi apa yang dibutuhkan, melainkan apa yang kita ingat sebagai rasa enak. Kita mengejar asam, asin, manis, pedas, gurih, tanpa mempedulikan dampaknya bagi tubuh.

"Kita bermakmum pada kesenangan ilusi rasa-rasa fisik, tanpa peduli lagi kebutuhan asasi badan," tulisnya.

Ingatan akan rasa telah menciptakan industri makanan raksasa dan individu-individu yang rakus. Dalam tradisi puasa, jeda waktu antara sahur dan berbuka memberikan kesempatan bagi tubuh untuk beristirahat dan bagi pikiran untuk merenungkan kebiasaan makan.

Eling lan Waspodo: Kesadaran dalam Setiap Suapan

Seringkali, kita makan tanpa kesadaran penuh. Pikiran kita melayang-layang, terjebak dalam ingatan akan sensasi rasa dari pengalaman makan sebelumnya. Puasa mengajarkan bahwa tuntutan hasrat dan ingatan akan kenikmatan bukanlah kebenaran mutlak. Ia dapat ditinggalkan dan ditanggalkan.

Dengan menunda sensasi rasa, kita memberi kesempatan bagi pikiran untuk beristirahat dan mengurangi beban ingatan. Maulana berharap, kesadaran ini akan membawa perubahan pada perilaku makan kita, sehingga hubungan kita dengan makanan menjadi lebih seimbang dan alami.

Belajar dari Buddhisme dan Ahmad Wahib

Maulana kemudian menyinggung pandangan Buddhisme tentang makanan sebagai shangkara loka (segala yang terkondisi) yang pada hakikatnya adalah penderitaan. Dalam konteks ini, eling lan waspodo (ingat dan waspada) menjadi kunci untuk menghindari keterikatan pada rasa dan mengakhiri penderitaan.

Ia juga mengutip aforisma Ahmad Wahib: "Makan adalah pekerjaan yang harus segera dikerjakan agar cepat terlupakan." Maknanya, makan seharusnya hanya memenuhi kebutuhan fisik tanpa meninggalkan bekas di batin. Makanlah dengan sadar, hanya untuk memenuhi kebutuhan tubuh, bukan untuk kesenangan sesaat atau peningkatan status sosial.

Puasa sebagai Pemicu Kesadaran

Puasa, bagi Maulana, adalah gedor (pukulan) yang membangkitkan kesadaran kita tentang pentingnya memilih makanan yang selaras dengan kebutuhan tubuh. Hanya dengan kesadaran inilah kita dapat memperoleh keberkatan dalam rezeki dan mengakhiri penderitaan.

Puasa bukan sekadar ritual menahan diri, tetapi sebuah perjalanan introspeksi untuk menata ulang pola makan demi mencapai kesadaran diri yang lebih tinggi.