Paradoks Indonesia: Negara Paling Religius dengan Tingkat Depresi yang Mengkhawatirkan

Paradoks Indonesia: Negara Paling Religius dengan Tingkat Depresi yang Mengkhawatirkan

Sebuah ironi mencuat di Indonesia, negara yang dinobatkan sebagai salah satu yang paling religius di dunia, namun juga bergulat dengan masalah kesehatan mental yang serius, terutama depresi. Survei terbaru oleh Pew Research Center menempatkan Indonesia di puncak daftar negara dengan tingkat religiositas tertinggi, mencapai 98%. Angka ini jauh melampaui banyak negara mayoritas Muslim di Timur Tengah, menunjukkan betapa agama memainkan peran sentral dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Survei yang melibatkan 102 negara selama periode 2008-2023 ini menyoroti bahwa 96% responden Indonesia percaya bahwa moralitas harus didasarkan pada keimanan kepada Tuhan, dan 98% menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Tingkat ketaatan beragama ini kontras dengan negara-negara seperti Tunisia (84%), Turki (75%), dan Lebanon (72%), yang meskipun mayoritas penduduknya Muslim, memiliki persentase yang lebih rendah dalam hal mengaitkan moralitas dengan keimanan.

Ketika Iman Bertabrakan dengan Realitas

Meskipun data menunjukkan tingkat religiositas yang tinggi, angka prevalensi depresi di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 1,4%, dengan kelompok usia muda (15-24 tahun) menunjukkan angka yang lebih tinggi, yaitu 2%. Depresi merupakan penyebab utama disabilitas di kalangan remaja dan dapat berujung pada tindakan bunuh diri, yang merupakan penyebab kematian keempat tertinggi di antara remaja di seluruh dunia. Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri menunjukkan bahwa kasus bunuh diri di Indonesia terus meningkat setiap tahun, bahkan meningkat hingga 60% dalam lima tahun terakhir.

Lantas, bagaimana mungkin negara dengan tingkat religiositas setinggi ini menghadapi masalah depresi yang begitu signifikan? Penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara religiositas dan depresi tidak selalu linier. Bahkan, beberapa penelitian menemukan bahwa konsep keimanan yang salah dapat berkontribusi pada perasaan tertekan dan bersalah. Orang yang merasa berdosa, memendam perasaan bersalah, atau merasa jauh dari Tuhan mungkin mengalami depresi meskipun rajin beribadah.

Memaknai Agama dengan Benar: Kunci Kebahagiaan Batin

Citra Fitri Agustina, Pengurus Lembaga Kesehatan PBNU dan Staf Pengajar Universitas YARSI, menekankan pentingnya memaknai agama secara spiritual untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian. Ia menjelaskan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih dan Penyayang, dan hubungan dengan-Nya harus didasarkan pada cinta, kebahagiaan, dan kebebasan, bukan pada rasa takut atau kewajiban yang kaku. Aktivitas ritual agama yang dijalankan dengan menyenangkan dan tidak kaku dapat memberikan kenikmatan, pikiran positif, dan rasa tenang, sehingga meminimalkan risiko depresi.

Bulan Ramadan, misalnya, bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang memperbaiki diri secara holistik, termasuk kesehatan mental. Dengan memanfaatkan bulan ini untuk refleksi, pengendalian diri, dan memperkuat koneksi spiritual, seseorang dapat mencapai kedamaian batin dan keseimbangan emosional.

Mencari Pertolongan dan Mengatasi Stigma

Penting untuk mengatasi stigma seputar masalah kesehatan mental dan agama. Depresi adalah masalah kesehatan mental kompleks yang memerlukan pendekatan pengobatan holistik. Agama dapat menjadi sumber dukungan bagi sebagian orang, tetapi banyak yang memerlukan perawatan profesional dan dukungan medis. Dukungan sosial dari komunitas keagamaan dan terapi dapat membantu orang mengatasi gejala depresi.

Faktor-faktor seperti genetik, biologi, pengasuhan, dan lingkungan berkontribusi terhadap kejadian depresi. Menerapkan gaya hidup sehat, seperti menata hidup, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat, mencukupi kebutuhan tidur, olahraga, dan menjauhi konsumsi alkohol, dapat membantu mencegah terjadinya depresi atau mencegah perburukan gejala pada orang yang telah didiagnosis menderita depresi. Berkumpul dengan teman, menghindari potensi konflik, dan membatasi penggunaan media sosial juga dinilai baik untuk mencegah depresi.

Kesimpulan

Paradoks antara religiositas tinggi dan tingkat depresi yang mengkhawatirkan di Indonesia menyoroti pentingnya pemahaman yang mendalam tentang agama dan kesehatan mental. Dengan memaknai agama secara spiritual, mencari pertolongan profesional jika dibutuhkan, dan mengatasi stigma seputar masalah kesehatan mental, Indonesia dapat mengatasi tantangan ini dan menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan bahagia.

Referensi: * Pew Research Center: https://www.pewresearch.org/ * Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri