Refleksi Ramadan: Kesadaran Diri Sebagai Anugerah di Penghujung Bulan Penuh Berkah
Menemukan Hikmah di Balik Kekurangan: Sebuah Refleksi Ramadan
Ramadan, bulan penuh berkah, segera meninggalkan kita. Namun, bagaimana jika selama ini kita merasa belum optimal dalam memanfaatkannya? Munculkah perasaan biasa-biasa saja, bahkan penyesalan karena tak mampu menandingi semangat Rasulullah dan para sahabat dalam beribadah? Atau mungkin, kita merasa belum merasakan anugerah Lailatul Qadar yang dijanjikan?
Jangan berputus asa. Justru, kesadaran akan kekurangan ini bisa menjadi pertanda bahwa Allah SWT masih menyayangi kita. Ketika kita merasa belum memiliki amal yang cukup, ketika hati ini sedih karena merasa jauh dari Allah di bulan Ramadan, saat itulah Allah tengah memberikan kesempatan untuk introspeksi dan memperbaiki diri. Ini adalah hidayah, teguran lembut agar kita terus berjuang (mujahadah) mendekati derajat takwa, tujuan utama disyariatkannya puasa.
Kesadaran Diri: Sapaan Mewah dari Ilahi
Kesadaran akan kelemahan diri di hadapan Allah adalah anugerah yang tak ternilai. Saat kita merasa jauh, itu adalah bisikan ilahiyah yang membimbing. Ketika kita menyadari bahwa perbuatan kita belum sesuai dengan kehendak-Nya, maka kita tengah disayangi oleh-Nya. Sebab, ada banyak orang yang merasa sudah beramal banyak, merasa sudah melakukan segalanya dengan benar, padahal belum tentu demikian adanya.
Semakin sering perasaan itu muncul, semakin besar potensi hati kita menjadi gelap. Kita cenderung menggunakan standar yang kita buat sendiri, sesuai dengan keinginan kita. Padahal, kita tengah berada di masa di mana semua perbuatan akan dihisab. Akan tiba saatnya pintu amal tertutup, sementara perhitungan amal dimulai.
Waspadai Virus Kesombongan
Salah satu virus paling mematikan bagi hati seorang hamba adalah perasaan lebih baik dari orang lain. Ketika kita sibuk mencatat daftar ibadah yang berhasil kita lakukan selama Ramadan, virus kesombongan (al-kibru) mulai membungkus hati kita. Bukti nyatanya adalah ketika kita dengan bangga menceritakan semua amal kita kepada orang lain, baik di dunia nyata maupun di media sosial.
"Saya sudah khatam Al-Qur'an sekian juz, saya sudah berdzikir sepanjang malam, dan saya mendapat bisikan Lailatul Qadar," mungkin ini yang sering kita lihat di media sosial. Atau bisik-bisik saat menyiapkan hidangan lebaran. Inilah isyarat bahwa semua yang diceritakan hanya akan menjadi cerita kosong. Ia sudah terjangkit penyakit hati seperti riya' (pamer), sum'ah (mencari popularitas), dan takabbur (sombong). Naudzubillah Min Dzaalik!
Kendalikan Nafsu, Raih Ridha Ilahi
Saat orang-orang berlomba mengumumkan jumlah amal mereka, saat itulah mereka tengah memanjakan nafsu. Kita mengisi jiwa dengan kebanggaan akan pencapaian diri dan syahwat. Ketika kita merasa bangga, apalagi merasa amal kita melampaui orang lain, bersiaplah ditinggalkan setan. Kita bermaksiat dengan maksiat yang dulu dilakukan Iblis: takabbur.
Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam AS. Ia menentang perintah Allah dan merasa lebih baik dari Nabi Adam AS. Inilah yang dikhawatirkan oleh setiap insan yang beribadah di bulan Ramadan. Khawatir lidah yang telah disucikan dengan lantunan ayat suci, dzikir, taubat, tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir, kembali kotor setelah Ramadan. Apakah kita tega menggunakan lidah yang tersucikan selama sebulan penuh untuk menggunjing, berkata kotor, memaki, dan menghina setelah Ramadan?
Perut kita telah dijaga dari makanan haram selama puasa. Perut kita sudah tersucikan. Kita telah dilatih sejak sebelum fajar hingga terbenam matahari untuk mengikuti kehendak Allah. Sungguh celaka kita jika perut yang sama kita isi dengan barang haram setelah Ramadan berlalu.
Membuktikan Berkah Lailatul Qadar
Bagaimana kita tahu sudah bertemu Lailatul Qadar? Buktikanlah setelah Ramadan berlalu. Lailatul Qadar akan mengalirkan berkah hingga bulan-bulan berikutnya. Jika dalam seribu bulan ke depan hubungan kita dengan Sang Pencipta semakin nikmat, itulah isyarat Lailatul Qadar tengah bekerja. Jika mu'amalah (hubungan) kita dengan sesama makhluk semakin baik, itu bukti Lailatul Qadar mulai meliputi hidup kita.
Bila setelah Ramadan hingga seribu bulan ke depan kita tidak menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya, itu tanda kita sudah bersama Lailatul Qadar. Kewajiban setelah Ramadan adalah bersyukur. "Syukur berupa kesadaran akan Sang Pemberi nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri," kata As Syibli.
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS Al Baqarah : 185)
Maka, bersyukurlah ketika sadar bahwa kita ternyata belum apa-apa dan tidak seberapa dibandingkan ibadah orang lain. Sebab, itu artinya Allah mengingatkan kita akan kekurangan, kelalaian, kealpaan, dan kemalasan kita dalam meningkatkan ibadah kepada-Nya. Bayangkan jika kita terus dalam situasi buruk itu tanpa diingatkan oleh Allah. Bayangkan jika langkah kita ternyata mengarah ke jurang kecelakaan, tetapi tidak ada yang mengingatkan kita. "Ya Allah, Engkaulah Zat Mahapemberi Peringatan dan Petunjuk."