Menyikapi Perbedaan Awal Ramadan dan Syawal: Bolehkah Mendahului Lebaran?
Perbedaan penetapan awal Ramadan dan 1 Syawal seringkali menjadi topik diskusi hangat di kalangan umat Islam Indonesia. Perbedaan ini umumnya disebabkan oleh dua metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan Hijriah, yaitu rukyatul hilal (melihat hilal) dan hisab (perhitungan astronomi).
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama (Kemenag), memiliki peran sentral dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal melalui Sidang Isbat. Hasil Sidang Isbat ini menjadi rujukan utama bagi umat Muslim di Indonesia dalam menjalankan ibadah puasa dan merayakan Idul Fitri. Meskipun demikian, pemerintah menghargai adanya perbedaan pendapat dan tidak mempermasalahkan jika ada organisasi masyarakat (ormas) Islam yang memiliki metode dan hasil perhitungan berbeda.
Lantas, bagaimana jika terjadi perbedaan waktu puasa dan lebaran? Bolehkah seseorang yang memulai puasa lebih lambat mengikuti perayaan Idul Fitri yang lebih awal? Pertanyaan ini dijawab oleh KH Muhammad Abdul Mughis, pengasuh Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadiin. Beliau menekankan pentingnya pemahaman agama Islam secara mendalam, mulai dari dasar hingga tingkat lanjut, agar dapat menyikapi berbagai permasalahan yang muncul dalam kehidupan, termasuk perbedaan dalam menentukan awal puasa dan lebaran.
Kiai Abdul Mughis menjelaskan bahwa dalam Islam, jika seseorang memiliki ilmu dan dalil yang kuat, maka diperbolehkan untuk mengikuti dalil tersebut. Namun, bagi orang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk menelaah dalil, sebaiknya mengikuti pendapat ulama atau pemerintah serta organisasi Islam yang memiliki otoritas dalam menentukan awal puasa dan lebaran.
Beliau juga menanggapi pertanyaan tentang seseorang yang mendengarkan takbir Idul Fitri lebih awal dan ingin ikut merayakan lebaran. Kiai Abdul Mughis menyarankan untuk tetap mengikuti pendapat awal yang telah diyakini. Jika seseorang telah mengikuti suatu pendapat, sebaiknya konsisten dengan pendapat tersebut.
Kiai Abdul Mughis kemudian mengutip sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
Artinya: "Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya'ban menjadi 30 hari."
Berdasarkan hadis ini, Kiai Abdul Mughis menjelaskan bahwa ibadah puasa dan Idul Fitri hendaknya didasarkan pada rukyatul hilal. Jika hilal tidak terlihat karena mendung atau alasan lainnya, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari.
Beliau menegaskan bahwa tidak dibenarkan seseorang memulai puasa mengikuti pendapat yang terakhir, tetapi kemudian merayakan Idul Fitri mengikuti pendapat yang lebih awal. Hal ini dianalogikan sebagai tindakan korupsi.
Penjelasan ini disampaikan dalam program Kuliah Ramadhan (Kurma) yang diproduksi oleh detikJatim. Program ini menghadirkan pendakwah yang mengulas berbagai topik seputar puasa dengan sentuhan video sketsa. Kurma mengajak kiai-kiai kampung di Jawa Timur untuk memberikan pemahaman agama yang mendalam dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Inti dari penjelasan Kiai Abdul Mughis adalah pentingnya mengikuti pendapat yang diyakini dan konsisten dalam beribadah, serta menghindari tindakan yang dapat merusak nilai-nilai ibadah itu sendiri.
Berikut adalah poin-poin penting yang dapat disimpulkan:
- Perbedaan penentuan awal Ramadan dan Syawal adalah hal yang lumrah.
- Pemerintah melalui Sidang Isbat menjadi rujukan utama.
- Bagi orang awam, sebaiknya mengikuti pendapat ulama atau pemerintah.
- Konsisten dengan pendapat yang telah diyakini.
- Tidak dibenarkan memulai puasa mengikuti pendapat terakhir, tetapi merayakan Idul Fitri mengikuti pendapat yang lebih awal.