Revisi UU TNI: Antara Profesionalisme, Kekhawatiran Publik, dan Komunikasi yang Buruk

Revisi UU TNI: Antara Profesionalisme, Kekhawatiran Publik, dan Komunikasi yang Buruk

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai berbagai reaksi di masyarakat, khususnya dari kalangan aktivis NGO dan mahasiswa. Aksi demonstrasi menjadi bukti nyata adanya kekhawatiran terhadap arah perubahan yang diusung. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, mengingat pengalaman kelam di masa lalu terkait Dwifungsi ABRI, yang memicu trauma dan ketakutan akan potensi terulangnya kembali praktik serupa.

Akar Kekhawatiran: Pelebaran Peran TNI ke Ranah Sipil

Kritik utama terhadap revisi UU TNI adalah potensi pelebaran peran TNI ke posisi-posisi yang seharusnya diisi oleh pejabat sipil. Secara teoritis, kekhawatiran ini sangat beralasan. Dalam kondisi normal, tanpa justifikasi yang kuat, memperluas peran militer di luar fungsi pertahanan dan keamanan nasional dapat menimbulkan berbagai masalah. Konsep subjective control yang diungkapkan Samuel P. Huntington dalam bukunya "The Soldier and The State" (1957), menjelaskan bahwa fungsi militer yang luas hanya dapat diterima publik dalam keadaan perang atau darurat.

Belajar dari Pengalaman Amerika Serikat

Amerika Serikat, sebagai contoh, pernah mengalami pelebaran peran militer selama Perang Dingin. Keahlian dan pemikiran strategis militer sangat dibutuhkan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan penting negara. Namun, setelah Uni Soviet runtuh dan Perang Dingin berakhir, trennya berubah. Publik Amerika lebih memilih militer yang profesional (objective control), dengan fokus pada pertahanan dan ancaman eksternal. Peristiwa "Nine Eleven" dan isu terorisme global sempat memperluas peran militer, tetapi tetap dalam batas yang dapat diterima publik.

Improvisasi Peran Tanpa Menginvasi Ranah Sipil

Sebenarnya, ruang gerak militer dalam menjalankan fungsi dasarnya tidaklah sempit. TNI dapat berimprovisasi dan menjalankan banyak peran tanpa harus menginvasi ranah fungsional pejabat sipil. Contohnya, keterlibatan Pentagon dalam memantau perang mata uang (currency war) di sektor keuangan menunjukkan bagaimana militer dapat berkontribusi dalam menjaga kedaulatan negara tanpa harus terjun langsung ke ranah sipil. Pentagon bahkan memiliki tim khusus yang terdiri dari pakar keuangan, ahli manajemen strategis, dan tokoh militer untuk membuat skenario serangan terhadap mata uang Amerika dan langkah-langkah antisipasinya.

Catatan Kritis Terhadap Revisi UU TNI di Indonesia

Berkaca pada kekhawatiran publik terhadap revisi UU TNI, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan TNI:

  1. Profesionalisme TNI adalah Keinginan Publik: Survei menunjukkan bahwa publik menginginkan revisi UU TNI mengarah pada peningkatan profesionalisme, bukan pelebaran peran ke ranah sipil. Publik tidak ingin militer terjun ke bisnis komersial yang tidak terkait dengan pertahanan nasional. Jika pun harus terlibat dalam bisnis, maka harus terkait dengan industri pertahanan atau teknologi yang mendukung cyber defenses. Bahkan, Kementerian Pertahanan dapat mendirikan Military Capital Initiative untuk berinvestasi di startup yang memiliki teknologi canggih untuk pertahanan nasional.

  2. Komunikasi Publik yang Buruk: Pemerintah gagal mengomunikasikan revisi UU TNI beserta substansi perubahannya kepada publik. Kurangnya transparansi, mekanisme penyerapan aspirasi publik yang lemah, dan tidak adanya pandangan alternatif sebelum revisi disahkan, membuat komunikasi publik pemerintah terlihat buruk dan menimbulkan kecurigaan. Pemerintah terkesan menghindari perdebatan langsung dengan publik sebelum revisi disahkan, yang mengindikasikan tidak adanya argumentasi yang jelas dan masuk akal untuk menjustifikasi revisi UU TNI.

  3. Potensi Ditunggangi Pihak yang Tidak Senang dengan TNI: Sikap dan gaya komunikasi pemerintah membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak senang dengan TNI untuk menunggangi isu revisi UU TNI dan membenturkannya dengan institusi lain. Muncul kecurigaan bahwa TNI menginginkan revisi UU TNI karena berkompetisi dengan institusi lain, seperti Kepolisian, untuk melebarkan perannya ke institusi sipil. Revisi UU TNI di-framing bukan sebagai revisi strategis untuk membuat TNI lebih baik, tetapi karena ingin menyaingi Kepolisian di ranah domestik.

Solusi Strategis: Fokus pada Fungsi Dasar dan Revisi UU Polri

Jika benar revisi UU TNI didorong oleh persaingan dengan Kepolisian, maka solusi strategisnya bukan dengan melebarkan peran TNI ke ranah sipil, tetapi dengan merevisi UU Polri dan mengurangi peran polisi pada institusi-institusi sipil. Publik sebenarnya juga khawatir dengan jabatan-jabatan sipil yang dirangkap oleh perwira kepolisian.

Profesionalisme TNI dan Polri: Fokus pada Fungsi Dasar

Profesionalisme TNI dan Polri hanya dapat dicapai jika kedua institusi fokus pada fungsi dasarnya, yaitu pertahanan dan ancaman eksternal (defenses dan external threats) serta penegakan hukum dan ketertiban (law and order). Setiap upaya yang berpotensi merusak fokus TNI dan Polri terhadap fungsi fundamental tersebut, termasuk pelebaran peran ke institusi sipil, akan mengganggu profesionalisme keduanya.

Bagaimana TNI dan Polri dapat menjamin profesionalismenya tidak luntur setelah melebarkan peran dan fungsi ke institusi yang tidak terkait dengan core and fundamental roles TNI dan Polri? Tidak ada jaminan sama sekali untuk itu. Mengurangi fokus pada fungsi dasar akan mengganggu profesionalisme dan memunculkan sikap intimidatif ke ruang publik, karena militer dan kepolisian memasuki ranah sipil dengan seragam mereka. Pelaku bisnis sipil akan merasa terancam saat bersaing dengan institusi yang memegang senjata.

Arena politik yang seharusnya diduduki oleh politisi sipil akan memiliki suasana berbeda jika dimasuki oleh aktor berseragam dan bersenjata, karena persaingan ide dan kepentingan tidak lagi seimbang. Satu pihak memiliki kekuatan jauh melebihi pihak lain, sehingga kompetisi menjadi tidak adil.

Apresiasi Peran TNI Tanpa Menginvasi Jabatan Sipil

Publik harus mengapresiasi peran sentral TNI dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara. Kritikan harus ditujukan untuk memperkuat peran tersebut tanpa dilandasi kebencian, karena TNI adalah salah satu pilar penting negara. Penghargaan harus diberikan kepada TNI dengan cara dan strategi lain. Ada banyak peran yang benar-benar terkait dengan pertahanan nasional dan ancaman eksternal yang dapat diinisiasi oleh TNI dan DPR untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan TNI, tanpa harus menginvasi jabatan sipil.

TNI dan DPR harus lebih kreatif dan inovatif dalam mengeksplorasi ide untuk memajukan TNI tanpa membuat TNI menjadi "meleber" kemana-mana dan membuat takut banyak orang.