Tekanan Rupiah Meningkat, Pemerintah dan Bank Indonesia Pertahankan Optimisme di Tengah Kekhawatiran Pasar

Rupiah Tertekan: Pemerintah dan BI Optimis, Pasar Waspada

Nilai tukar rupiah mengalami tekanan signifikan, mendekati level terendah yang pernah tercatat saat krisis moneter 1998. Pada hari Selasa (25/3/2025), rupiah ditutup pada angka Rp 16.611 per dollar AS, menunjukkan pelemahan sebesar 0,27% dibandingkan penutupan sebelumnya. Level ini merupakan yang terendah sejak April 2020, memicu kekhawatiran akan potensi dampak terhadap perekonomian nasional.

Meski demikian, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kompak menyatakan optimisme. Mereka meyakini bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan saat krisis 1998. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pasar modal telah menunjukkan rebound, dan ekspektasi terhadap Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Mandiri dan BRI memberikan hasil yang positif. Menurutnya, fluktuasi nilai tukar merupakan hal yang wajar dan tidak perlu dikhawatirkan berlebihan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelemahan Rupiah

Menurut pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, pelemahan rupiah dipicu oleh kombinasi faktor eksternal dan internal:

  • Geopolitik: Ketegangan geopolitik global, terutama ancaman Amerika Serikat terhadap Iran, menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan.
  • Kebijakan Tarif Impor AS: Pemberlakuan biaya tarif impor tambahan oleh AS pada awal April berpotensi memberatkan pasar.
  • Arus Modal Keluar: Investor asing cenderung menarik dana dari Indonesia, dipicu oleh kekhawatiran terhadap intervensi pemerintah dalam pengelolaan investasi.

Respons Pemerintah dan Bank Indonesia

Bank Indonesia telah melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, menekankan bahwa kondisi saat ini berbeda jauh dengan krisis 1998. Pelemahan rupiah terjadi secara bertahap, tidak seperti kejatuhan tajam yang terjadi saat krisis moneter.

Solikin juga menyoroti perbedaan signifikan dalam fundamental ekonomi:

  • Cadangan Devisa: Cadangan devisa Indonesia saat ini mencapai 154,5 miliar dollar AS, jauh lebih tinggi dibandingkan saat krisis 1998 yang hanya sekitar 20 miliar dollar AS.
  • Indikator Makroekonomi: Pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di kisaran 5,02% pada tahun 2024, inflasi terkendali di angka 1,57%, dan neraca transaksi berjalan relatif rendah.
  • Stabilitas Sektor Keuangan: Rasio permodalan perbankan (CAR) berada di level 27,76% dan rasio kredit macet (NPL) terjaga di level 2,08%.

Perbandingan dengan Krisis Moneter 1998

Pada saat krisis moneter 1998, rupiah mengalami depresiasi sangat tajam, bahkan terperosok 1.350 poin dalam satu hari perdagangan. Kondisi diperparah dengan kerentanan ekonomi yang tidak termitigasi dengan baik, menyebabkan resesi.

Saat ini, pemerintah dan BI mengklaim telah memiliki mekanisme yang lebih kuat untuk mendeteksi dan mengatasi potensi pelemahan ekonomi. Mereka meyakini bahwa fundamental ekonomi yang solid akan mampu menahan volatilitas nilai tukar rupiah.

Tantangan dan Prospek ke Depan

Meski pemerintah dan BI optimis, pasar tetap waspada terhadap potensi risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas rupiah. Ketidakpastian global dan kebijakan ekonomi AS menjadi faktor eksternal yang perlu diwaspadai. Sementara itu, dari dalam negeri, kepercayaan investor terhadap pengelolaan investasi dan stabilitas politik akan menjadi kunci.

Ke depan, pemerintah dan BI perlu terus berkoordinasi untuk menjaga stabilitas makroekonomi, memperkuat fundamental ekonomi, dan menjaga kepercayaan investor. Komunikasi yang efektif dan transparan juga penting untuk meredam spekulasi dan menjaga ekspektasi pasar. Stabilitas nilai tukar rupiah akan menjadi kunci untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.