Kekecewaan Dedi Mulyadi Terhadap Mantan Pegawai Hibisc: Empati Lebih Berharga dari Kompensasi
Dedi Mulyadi Geram: Mantan Pegawai Hibisc Dinilai Kurang Empati
Bupati Purwakarta yang juga tokoh Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini menunjukkan kekecewaannya terhadap sejumlah mantan pegawai perusahaan Hibisc. Kekecewaan ini muncul saat Dedi meninjau lokasi bekas lahan Hibisc di kawasan Puncak, Bogor, yang sedang dalam proses reboisasi pada hari Kamis, 27 Maret 2025.
Kemarahan Dedi Mulyadi bukan semata-mata soal materi, melainkan lebih pada kurangnya empati yang ditunjukkan oleh para mantan pegawai Hibisc. Ia menganggap bahwa sikap tersebut mencerminkan mentalitas elitis yang tidak sesuai dengan semangat kebersamaan dan kepedulian sosial.
Akar Permasalahan: Penolakan Menanam Pohon
Insiden ini bermula ketika Dedi Mulyadi menawarkan kompensasi kepada para mantan pegawai Hibisc sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi mereka sebelumnya. Namun, tawaran tersebut disertai dengan syarat sederhana, yaitu mereka diminta untuk ikut serta dalam kegiatan penanaman pohon di lokasi bekas Hibisc.
Respon yang diterima Dedi Mulyadi justru membuatnya berang. Beberapa mantan pegawai Hibisc menolak tawaran tersebut dengan alasan tidak ada permintaan untuk menanam pohon di lokasi tersebut. Sikap inilah yang dianggap Dedi Mulyadi sebagai bentuk kurangnya empati dan kepedulian terhadap lingkungan.
"Saya tidak suka orang yang tidak punya empati, seolah-olah dia adalah kelas elite. Waktu saya bilang saya transfer, nanti kamu tanam pohon satu batang saja, dia malah mengatakan tidak ada permintaan menanam pohon di lokasi bekas Hibisc," ungkap Dedi Mulyadi.
Empati dan Kepedulian Lebih Penting dari Uang
Menurut Dedi Mulyadi, permasalahan utama bukanlah soal uang atau kompensasi, melainkan rasa kepedulian terhadap sesama dan lingkungan. Ia menyoroti bagaimana pekerja lain, dengan latar belakang pendidikan yang mungkin lebih rendah, bersedia bekerja keras menanam pohon demi mendapatkan kompensasi. Sementara itu, mantan pegawai Hibisc justru meminta hak tanpa mau berkontribusi.
"Saya paling nggak suka orang yang berlagak luar biasa. Ini bukan perkara uang, tapi ingin melihat empati. Masak yang lain bekerja dan akhirnya dapat uang, sementara ada yang ongkang-ongkang dan tetap minta THR?" tegasnya.
Pemberian Kompensasi Tetap Dilakukan
Meski merasa kecewa, Dedi Mulyadi tetap berkomitmen untuk memberikan kompensasi kepada para mantan pegawai Hibisc. Ia meminta nomor rekening mereka untuk proses transfer. Namun, ia berharap bahwa pemberian tersebut dapat menjadi pelajaran bagi mereka untuk lebih peduli terhadap sesama dan lingkungan.
"Walau saya marah, tetap saya minta nomor rekening. Saya tuh pengennya dia punya empati ke rekannya yang menanam pohon. Saya marah bukan karena ditagih uang, bukan perkara uang, tapi soal apakah dia punya empati atau tidak," jelasnya.
Upaya Reboisasi dan Ajakan untuk Melestarikan Lingkungan
Selain itu, Dedi Mulyadi juga membagikan momen ketika para mantan pegawai Hibisc yang kini bekerja menanam pohon di lokasi bekas tempat mereka bekerja. Hal ini merupakan bagian dari upaya mengembalikan fungsi lahan dan menjadikan kawasan Puncak kembali hijau dan lestari. Dedi Mulyadi mengajak semua pihak untuk terlibat dalam gerakan penanaman pohon di lahan eks Hibisc dan daerah resapan air lainnya sebagai bagian dari upaya pelestarian lingkungan.
"Mereka sekarang sudah menanam pohon. Setelah ini tak jadi pengangguran, tugasnya ngurus tangkal di lembur sorangan (mengurus pohon di kampung sendiri)," ujarnya.
Dengan upaya reboisasi ini, Dedi Mulyadi berharap kawasan Puncak dapat kembali memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Ia pun menyerukan semangat kebersamaan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
"Kita kembalikan Puncak milik kita, Puncak nu urang (punya kita). Sabab urang anak, incu, putuna (karena kita adalah keturunan asli Puncak)," pungkasnya.