Kontroversi Jabatan Ganda Dirjen Pajak di Tengah Target Penerimaan yang Meleset
Polemik Rangkap Jabatan Dirjen Pajak di Tengah Kinerja Penerimaan yang Mengkhawatirkan
Kinerja penerimaan pajak yang kurang memuaskan pada awal tahun 2025 menjadi sorotan tajam, terutama dengan terungkapnya fakta bahwa Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Suryo Utomo merangkap tiga jabatan sekaligus. Selain menjabat sebagai Dirjen Pajak, Suryo Utomo juga tercatat sebagai Komisaris PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (SMI) dan Komisaris Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN). Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas kepemimpinan dan potensi konflik kepentingan, terutama di saat negara tengah berjuang untuk mencapai target penerimaan pajak.
Fenomena rangkap jabatan ini memicu perdebatan publik, terutama karena terjadi di tengah kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mengalami defisit. Alih-alih fokus pada upaya peningkatan penerimaan pajak, Dirjen Pajak justru mendapat amanah tambahan sebagai Komisaris Utama BTN, berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BTN pada 26 Maret 2025. Di sisi lain, informasi dari laman resmi PT SMI menunjukkan bahwa Suryo Utomo telah menjabat sebagai komisaris BUMN tersebut sejak 29 November 2019, dan diperpanjang pada 17 Juli 2024. Penunjukan ini menimbulkan pertanyaan tentang prioritas dan kemampuan Dirjen Pajak dalam menjalankan tugas utamanya di tengah tekanan ekonomi yang meningkat.
Defisit APBN dan Penurunan Penerimaan Pajak: Tantangan Berat di Awal Tahun
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa kinerja APBN pada Januari dan Februari 2025 menunjukkan tren yang kurang menggembirakan. Defisit APBN mencapai Rp 31,2 triliun atau 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 28 Februari 2025. Kondisi ini menjadi yang terburuk dalam empat tahun terakhir, mengingat pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, APBN justru mencatatkan surplus.
Penurunan realisasi pendapatan negara menjadi penyebab utama defisit ini. Hingga akhir Februari 2025, pendapatan negara tercatat sebesar Rp 316,9 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 439,2 triliun. Penurunan penerimaan pajak menjadi salah satu faktor krusial yang memperburuk situasi.
Realisasi penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 hanya mencapai Rp 187,8 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan sebesar 30,1% dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun 2024 yang mencapai Rp 269,02 triliun. Penurunan yang tajam ini menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak yang telah ditetapkan.
Implementasi Coretax dan Dampaknya pada Penerimaan Pajak
Salah satu faktor yang disebut-sebut sebagai penyebab penurunan setoran pajak adalah implementasi sistem inti administrasi perpajakan (Coretax) sejak 1 Januari 2025. Sistem yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu ini bertujuan untuk mempermudah proses pembayaran pajak. Namun, dalam praktiknya, banyak wajib pajak yang justru mengalami kesulitan dalam melakukan proses pembayaran.
Alih-alih mempermudah, Coretax dinilai menghambat proses pemungutan pajak selama dua bulan pertama tahun 2025. Kondisi ini memicu pertanyaan tentang kesiapan dan efektivitas sistem baru ini dalam mendukung upaya peningkatan penerimaan pajak. Beberapa pihak berpendapat bahwa buruknya kinerja penerimaan pajak seharusnya menjadi alasan logis bagi Dirjen Pajak untuk mendapatkan evaluasi, bukan justru promosi jabatan.
Pelanggaran Aturan Rangkap Jabatan dan Potensi Konflik Kepentingan
Praktik rangkap jabatan yang dilakukan oleh Suryo Utomo dinilai melanggar Undang-Undang (UU) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No. 1/2025. Pasal 27B UU tersebut melarang anggota dewan komisaris BUMN untuk merangkap jabatan sebagai anggota direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas pada BUMN lain, anak usaha BUMN, dan badan usaha milik daerah.
Penunjukan Suryo Utomo sebagai Komisaris Utama BTN, sementara ia masih menjabat sebagai Komisaris PT SMI, secara jelas melanggar ketentuan dalam UU BUMN. Pilihan yang tersedia bagi Suryo Utomo adalah memilih salah satu dari dua jabatan di BUMN tersebut, atau mengundurkan diri dari kedua jabatan tersebut.
Selain itu, rangkap jabatan antara Komisaris BUMN dan Dirjen Pajak juga dinilai melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana diatur dalam UU BUMN No. 1/2025 pasal 1A ayat 2 huruf e, yaitu prinsip "kemandirian". Prinsip ini menekankan profesionalitas tanpa benturan kepentingan dan pengaruh dari pihak manapun.
Posisi Suryo Utomo sebagai Dirjen Pajak yang bertugas memungut pajak dari perusahaan (termasuk BTN dan PT SMI) berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan jabatannya sebagai Komisaris di kedua BUMN tersebut. Sebagai Dirjen Pajak, ia dituntut untuk memaksimalkan penerimaan pajak, sementara sebagai Komisaris, ia berkepentingan untuk meminimalkan beban pajak perusahaan agar laba perusahaan meningkat.
Dampak Rangkap Jabatan terhadap Kepercayaan Publik dan Perekonomian
Rangkap jabatan yang diemban oleh Dirjen Pajak dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan. Turunnya kepercayaan publik, terutama dari investor dan pelaku pasar keuangan, dapat berdampak negatif pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah.
Penurunan IHSG dapat memberikan sinyal buruk tentang kondisi ekonomi Indonesia, sehingga membuat investor asing enggan berinvestasi. Hal ini dapat menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025. Pelemahan nilai tukar rupiah juga dapat menyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih mahal, memicu inflasi yang tinggi dan tidak terkendali.
Inflasi yang tinggi dapat menggerus pertumbuhan ekonomi dan memicu krisis multi dimensi, yaitu krisis ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk segera mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah rangkap jabatan ini dan memulihkan kepercayaan publik.
Daftar Poin Penting:
- Dirjen Pajak Suryo Utomo rangkap tiga jabatan di tengah penurunan penerimaan pajak.
- APBN mengalami defisit dan penerimaan pajak jeblok di awal tahun 2025.
- Implementasi Coretax dinilai menghambat proses pemungutan pajak.
- Rangkap jabatan Dirjen Pajak dinilai melanggar UU BUMN dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
- Rangkap jabatan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan menurunkan kepercayaan publik.
- Turunnya kepercayaan publik dapat berdampak negatif pada IHSG, nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan ekonomi.