Harmoni Toleransi: Kota Mataram Hening dalam Nyepi, Umat Muslim Tunjukkan Solidaritas
Keheningan Nyepi di Mataram: Simfoni Toleransi Antarumat Beragama
Malam Catur Brata Penyepian di Kota Mataram, Sabtu (29/3/2025), menghadirkan suasana hening yang mendalam. Kegelapan menyelimuti gang-gang permukiman umat Hindu, lampu-lampu dipadamkan sebagai bagian dari ritual sakral Hari Raya Nyepi, yang tahun ini bertepatan dengan bulan suci Ramadhan bagi umat Muslim. Di balik keheningan ini, tersembunyi kisah tentang keharmonisan dan toleransi yang telah lama terjalin di antara kedua komunitas.
Penjagaan Tradisi dan Solidaritas
Para pecalang, penjaga keamanan tradisional Bali, berjaga di setiap sudut permukiman Hindu, memastikan kekhusyukan dan keamanan selama pelaksanaan Catur Brata Penyepian. Ketut Wartana dari Banjar Mantri Kota Mataram mengungkapkan bahwa suasana Nyepi tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sebuah cerminan dari rasa saling menghormati yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Mataram. Setiap banjar dijaga oleh 30 pecalang sejak Sabtu pagi hingga Minggu pagi, memastikan kelancaran pelaksanaan Brata Amati Geni (tidak menyalakan api), Brata Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang), Brata Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Brata Amati Karya (tidak bekerja).
Lingkungan Karang Jasi pun turut merasakan hikmatnya Nyepi. Pertokoan di kawasan permukiman umat Hindu tutup sejak pagi hari, sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi. Bahkan, suasana tadarus di masjid pun disesuaikan, dengan penggunaan pengeras suara dalam ruangan agar tidak mengganggu kekhusyukan umat Hindu yang sedang menjalankan Nyepi.
Sejarah Panjang Toleransi
Sejak abad ke-16, umat Muslim dan Hindu di Lombok telah hidup berdampingan, membangun jembatan persahabatan dan saling pengertian. Tradisi ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk perayaan hari-hari besar keagamaan. Sebelum Nyepi, umat Hindu menggelar pawai ogoh-ogoh, sebuah perayaan meriah yang melibatkan seluruh warga Kota Mataram. Seratus empat belas ogoh-ogoh, dalam berbagai bentuk dan ukuran, diarak di sepanjang jalan utama, disaksikan oleh umat Hindu, Muslim, dan penganut agama lainnya.
Gubernur NTB, Lalu Muhammad Iqbal, turut hadir dalam pelepasan pawai ogoh-ogoh, menyampaikan pesan tentang persatuan dan toleransi. Ia berharap bahwa perayaan ini tidak hanya menjadi milik umat Hindu, tetapi juga menjadi milik seluruh masyarakat NTB, sebagai simbol cinta damai dan solidaritas.
Menjaga Kebersamaan
Pembina Aliansi Pemuda Hindu Lombok, Anak Agung Made Djelantik, menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas dukungan dan bantuan dari seluruh warga Kota Mataram dalam pelaksanaan pawai ogoh-ogoh dan Nyepi. Ia menekankan bahwa kebersamaan dan nilai-nilai toleransi adalah aset berharga yang harus terus dijaga dan dilestarikan.
Keharmonisan yang terjalin antara umat Hindu dan Muslim di Mataram adalah contoh nyata tentang bagaimana perbedaan dapat menjadi kekuatan, bukan penghalang. Di tengah keheningan Nyepi, terdengar jelas suara toleransi yang menggema, mengingatkan kita akan pentingnya saling menghormati dan menghargai dalam membangun masyarakat yang damai dan sejahtera.
Refleksi Nilai-Nilai Luhur
Perayaan Nyepi di Kota Mataram bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga sebuah momentum untuk merefleksikan nilai-nilai luhur toleransi, gotong royong, dan persatuan. Di tengah kesibukan dunia modern, Nyepi mengajak kita untuk sejenak merenung, introspeksi diri, dan mempererat tali persaudaraan.
Keheningan Nyepi menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan sosial, antara individu dan komunitas. Di balik kegelapan dan kesunyian, tersembunyi cahaya harapan akan masa depan yang lebih baik, di mana perbedaan menjadi kekuatan dan kebersamaan menjadi landasan.
Dengan demikian, Nyepi di Mataram bukan hanya tentang hening dan sepi, tetapi juga tentang harmoni, toleransi, dan solidaritas. Sebuah simfoni indah yang dimainkan oleh umat Hindu dan Muslim, bersama-sama menjaga kedamaian dan kebersamaan di Bumi Lombok.