Evolusi Kastengel: Jejak Kolonial Belanda dalam Tradisi Kue Kering Lebaran di Indonesia

Jejak Rasa Kolonial: Sejarah Kue Kering Lebaran di Indonesia

Kue kering telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Indonesia, sebuah tradisi kuliner yang kaya akan sejarah dan pengaruh budaya. Di balik setiap gigitan nastar, kastengel, atau putri salju, tersembunyi kisah panjang tentang pertukaran rasa dan akulturasi yang terjadi selama masa kolonialisme.

Warisan Resep dari 'Kookboek'

Sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya, sebuah buku masak berjudul Groot nieuw volledig Oost-Indisch Kookboek atau yang lebih dikenal sebagai Kookboek, menjadi saksi bisu dari perpaduan kuliner antara Belanda dan Indonesia. Ditulis oleh JMJ Catenius van der Meijden dan diterbitkan pada tahun 1942, Kookboek tidak hanya berisi resep masakan Belanda dan Indonesia, tetapi juga merekam jejak interaksi sosial dan budaya melalui makanan. Resep-resep yang ada di dalamnya dikumpulkan melalui wawancara dengan para asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya, memberikan gambaran otentik tentang cita rasa yang berkembang pada masa itu.

Dalam buku tersebut, terdapat beragam resep, mulai dari bubur tradisional, kue kering menggugah selera, puding lembut, hingga salad segar. Keberadaan resep kue kering dalam Kookboek menjadi bukti bahwa tradisi ini telah berakar kuat sejak zaman penjajahan.

Transformasi Cita Rasa: Dari Natal Belanda ke Lebaran Indonesia

Sejarawan kuliner dari Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, mengungkapkan bahwa kue-kue kering seperti nastar, kastengel, putri salju, dan lidah kucing merupakan warisan kuliner dari Belanda. Kue-kue ini mulai dikenal luas di Indonesia pada masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, ketika masyarakat Indonesia mulai mengenal hidangan khas Belanda.

Awalnya, kue-kue kering ini identik dengan perayaan Natal oleh orang-orang Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi mengirimkan hantaran kue kepada keluarga bangsawan pribumi (priayi) saat Lebaran dimulai. Para priayi kemudian mengadopsi kue-kue tersebut sebagai bagian dari hidangan Lebaran mereka, menandai dimulainya transfer budaya perayaan hari besar.

Proses adaptasi ini tidak hanya melibatkan perubahan waktu konsumsi, tetapi juga modifikasi bahan dan bentuk. Kue-kue kering yang dibawa oleh Belanda mengalami transformasi rasa dan tampilan, menciptakan cita rasa yang unik dan sesuai dengan selera lokal.

Kastengel: Perbandingan Belanda dan Indonesia

Salah satu contoh menarik dari transformasi ini adalah kastengel, kue keju yang populer di Indonesia. Di Belanda, kue batang keju ini menggunakan keju edam, sementara di Indonesia, keju yang lebih ekonomis seringkali menjadi pilihan. Dari segi bentuk, kastengel Belanda cenderung lebih panjang dan ramping dibandingkan dengan kastengel Indonesia yang lebih pendek dan padat.

Namun, dari segi nama, terdapat kemiripan yang jelas. Dalam bahasa Belanda, kue batang keju disebut kaastengels, yang menunjukkan asal-usulnya. Begitu pula dengan nastar, yang dikenal sebagai ananas tart (kue nanas) dalam bahasa Belanda, dan lidah kucing, yang disebut katte tong.

Perubahan dan adaptasi ini menjadi bukti nyata bagaimana budaya dan kuliner saling memengaruhi dan menciptakan tradisi baru yang kaya akan makna. Kue kering Lebaran di Indonesia bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga cerminan dari sejarah panjang dan interaksi budaya yang telah membentuk identitas kuliner Indonesia.