Harmoni di Pira: Masjid Sebagai Simbol Persatuan Sunni dan Syiah di Pakistan

Harmoni di Pira: Masjid Sebagai Simbol Persatuan Sunni dan Syiah di Pakistan

Peningkatan ketegangan sektarian sering kali mewarnai lanskap negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Di Pakistan, polarisasi antara komunitas Sunni dan Syiah menjadi perhatian serius. Namun, di tengah narasi konflik, sebuah desa bernama Pira, yang terletak di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, hadir sebagai oase kedamaian dan persatuan. Di desa ini, para pengikut Sunni dan Syiah hidup berdampingan secara harmonis, sebuah contoh toleransi yang menginspirasi.

Masjid Persatuan: Jantung Komunitas Pira

Ketika Anda memasuki Pira, salah satu pemandangan pertama yang menyambut Anda adalah masjid megah dengan menara baja menjulang dan pengeras suara yang kuat. Lebih dari sekadar tempat ibadah, masjid ini adalah simbol persatuan yang mendalam, digunakan bersama oleh seluruh penduduk desa, tanpa memandang afiliasi Sunni atau Syiah mereka. Praktik unik ini telah berlangsung selama beberapa generasi, mencerminkan komitmen bersama untuk hidup berdampingan secara damai.

Bagaimana praktik berbagi masjid ini berjalan? Setelah azan berkumandang, kelompok pertama bergegas memasuki masjid untuk menunaikan salat. Setelah sekitar 15 menit, mereka selesai dan keluar, memberi jalan bagi kelompok lain untuk melakukan ibadah. Setiap kelompok beribadah sesuai dengan tradisi masing-masing, dengan perbedaan dalam lafaz azan dan gerakan salat.

Tradisi unik ini juga tercermin dalam pembagian waktu azan. Ada kesepakatan tidak tertulis di mana komunitas Syiah mengumandangkan azan untuk salat Subuh, Zuhur, dan Ashar, sedangkan komunitas Sunni bertanggung jawab atas azan untuk salat Maghrib dan Isya. Selama bulan Ramadan, sedikit penyesuaian dilakukan, di mana komunitas Sunni mengumandangkan azan Maghrib beberapa menit lebih awal untuk mengakomodasi waktu berbuka puasa mereka yang berbeda.

Akar Kerukunan: Sejarah dan Komitmen Bersama

Kerukunan antara Sunni dan Syiah di Pira bukanlah fenomena baru. Lebih dari seabad yang lalu, sebagian besar penduduk desa adalah Sunni Sufi, yang diyakini sebagai keturunan pendiri desa pada abad ke-17. Seiring berjalannya waktu, sebagian penduduk secara bertahap beralih ke Syiah, sementara yang lain tetap setia pada keyakinan Sunni mereka. Meskipun terdapat perbedaan teologis, kedua kelompok tersebut terus menggunakan masjid yang sama secara bersama-sama.

Pada akhir 1980-an, seorang tokoh Syiah lokal mengusulkan pembangunan kembali masjid tersebut. Molvi Gulab Shah, seorang ulama Sunni, menyetujui proposal tersebut dengan syarat masjid tersebut akan terus digunakan bersama oleh kedua kelompok. Pembangunan kembali masjid didanai oleh para tetua Syiah, menjadikan bangunan tersebut secara formal milik mereka. Namun, dalam praktiknya, hal ini tidak mengubah apa pun. Syed Mazhar Ali Abbas, seorang pengkhotbah Syiah di masjid tersebut, menekankan bahwa kaum Sunni memiliki hak yang sama untuk menggunakannya.

Masjid ini berfungsi sebagai jantung dari komunitas Pira yang bersatu. Dari sekitar 5.000 penduduk, dibagi rata antara pengikut Sunni dan Syiah, kedua kelompok secara kolektif menanggung biaya listrik dan operasional masjid. Mereka hidup berdampingan dengan damai, berbagi kebahagiaan dan kesedihan, serta saling mendukung dalam berbagai aspek kehidupan.

Integrasi Sosial: Lebih dari Sekadar Masjid

Persatuan di Pira melampaui dinding masjid. Kedua kelompok juga berbagi wilayah pemakaman yang sama, melambangkan kesetaraan bahkan dalam kematian. Perkawinan antar aliran juga bukan hal yang aneh di desa ini. Muhammad Siddiq, seorang Sunni yang menikahi seorang wanita Syiah, mengakui bahwa butuh waktu untuk meyakinkan mertuanya. Namun, penentangan itu bukan karena perbedaan agama, tetapi karena ia menikahi istrinya karena cinta, bukan melalui perjodohan tradisional.

Integrasi ini juga terlihat dalam perayaan hari raya keagamaan. Selama Idul Adha, umat Syiah dan Sunni terkadang membeli hewan kurban bersama-sama untuk memperingati kesiapan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya, Ismail. Ketika kelompok Sunni merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, para pengikut Syiah seringkali ikut serta. Sebaliknya, umat Sunni juga menghadiri acara-acara kelompok Syiah selama Muharram untuk memperingati kesyahidan Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.

Menolak Perpecahan: Komitmen untuk Persatuan

Komitmen terhadap persatuan di Pira telah diuji di masa lalu. Sekitar 20 tahun yang lalu, upaya dilakukan untuk menabur perselisihan di wilayah yang lebih luas, termasuk Pira dan 10 desa lainnya. Syed Munir Hussain Shah, seorang Syiah, mencalonkan diri untuk mewakili seluruh wilayah di dewan lokal. Lawannya mencoba untuk merusak kampanyenya dengan menyebarkan kebencian terhadap Syiah. Namun, strategi ini gagal. Orang-orang tetap memilih Munir Shah, menunjukkan bahwa mereka menghargai kompetensi dan komitmennya untuk melayani kebutuhan mereka, terlepas dari afiliasi sektariannya.

Kisah Pira adalah bukti kekuatan toleransi dan dialog dalam menjembatani perbedaan sektarian. Ini adalah contoh yang menginspirasi bagaimana komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, saling menghormati, dan bekerja sama untuk kebaikan bersama. Masjid Pira, dengan menara baja dan pengeras suara yang tinggi, berdiri sebagai simbol persatuan, mengingatkan kita bahwa kesamaan kita lebih besar daripada perbedaan kita.

Point Penting:

  • Praktik Berbagi Masjid: Kaum Sunni dan Syiah berbagi masjid yang sama. Ini bukan hanya tempat ibadah tetapi juga simbol persatuan dan kebersamaan dalam komunitas.
  • Pembagian Jadwal Ibadah: Kedua kelompok mengikuti jadwal yang disepakati bersama untuk melaksanakan ibadah. Kaum Syiah bertanggung jawab atas azan Subuh, Zuhur, dan Ashar, sementara kaum Sunni mengumandangkan azan Maghrib dan Isya.
  • Sejarah Panjang Kerukunan: Sejarah kerukunan di Pira sudah ada selama lebih dari satu abad.
  • Integrasi Sosial yang Luas: Kerukunan di Pira meluas ke berbagai aspek kehidupan, termasuk berbagi area pemakaman, perkawinan antar sekte, dan partisipasi bersama dalam perayaan keagamaan.
  • Menolak Provokasi: Komunitas Pira menunjukkan ketahanan terhadap upaya provokasi sektarian dan tetap berkomitmen pada persatuan dan kebersamaan.