Dampak Gempa Myanmar: Analisis Keruntuhan Bangunan Tinggi di Bangkok dan Faktor-faktor Penyebabnya
Dampak Gempa Myanmar: Analisis Keruntuhan Bangunan Tinggi di Bangkok dan Faktor-faktor Penyebabnya
Gempa bumi dahsyat berkekuatan M 7,7 yang mengguncang Myanmar pada Jumat, 28 Maret 2025, telah menimbulkan dampak signifikan hingga ke negara tetangga, Thailand. Kejadian ini memicu pertanyaan mendalam mengenai kerentanan infrastruktur terhadap guncangan gempa, terutama setelah sebuah bangunan tinggi yang sedang dalam proses konstruksi di Bangkok dilaporkan ambruk hanya berselang 10 menit setelah gempa terjadi, dengan jarak episenter mencapai 1.000 kilometer. Jarak ini sebanding dengan rentang antara Jakarta dan Banyuwangi, menyoroti betapa jauhnya efek getaran gempa dapat menjalar.
Fenomena ini segera memicu diskusi di kalangan ahli geofisika dan teknik sipil, berusaha memahami bagaimana gempa bumi yang berpusat jauh di Myanmar dapat menyebabkan kerusakan struktural di jantung kota Bangkok. Analisis awal mengarah pada kombinasi beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari karakteristik tanah di Bangkok hingga desain dan kualitas konstruksi bangunan itu sendiri.
Efek Vibrasi Periode Panjang dan Resonansi Tanah
Direktur Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono, menjelaskan fenomena ini sebagai efek Vibrasi Periode Panjang (Long Vibration Period). Gelombang gempa dari sumber yang jauh dapat direspon secara signifikan oleh tanah lunak. Bangkok, yang sebagian besar dibangun di atas lapisan tanah lunak yang tebal, sangat rentan terhadap efek resonansi. Tanah lunak ini cenderung memperkuat gelombang gempa, meningkatkan amplitudo getaran dan memberikan tekanan berlebih pada bangunan tinggi.
Analogi yang diberikan Daryono tentang gempa bumi di Pantai Michoacan pada tahun 1985 yang menyebabkan kerusakan parah di Mexico City, meskipun jaraknya 350 km, memberikan gambaran jelas tentang bagaimana kondisi tanah dapat memperburuk dampak gempa bumi. Mexico City, seperti Bangkok, dibangun di atas lahan rawa yang direklamasi, yang terdiri dari material yang tidak terkonsolidasi dan sangat berbahaya saat terjadi gempa kuat.
Efek Direktifitas
Selain resonansi tanah, Daryono juga menyoroti kemungkinan efek direktivitas, di mana energi gempa terfokus dalam satu arah. Efek ini dapat meningkatkan intensitas guncangan di wilayah tertentu, memperburuk kerusakan yang terjadi.
Kontribusi Faktor Lokal: Tanah Lunak dan Desain Struktur
Analisis Daryono diperkuat oleh pandangan dari pakar teknik sipil, termasuk Profesor Amorn Pimarnmas dari Asosiasi Insinyur Struktural Thailand dan Dr. Christian Málaga-Chuquitaype dari Imperial College London. Mereka sepakat bahwa tanah lunak di Bangkok berperan penting dalam memperkuat gerakan tanah, berpotensi meningkatkan guncangan tiga hingga empat kali lipat.
Namun, Profesor Pimarnmas juga menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti kualitas material konstruksi dan potensi ketidakberesan dalam sistem struktur bangunan. Investigasi mendalam diperlukan untuk mengungkap penyebab pasti keruntuhan bangunan di Bangkok.
Dr. Málaga-Chuquitaype menyoroti sistem flat slab yang digunakan dalam konstruksi bangunan tersebut. Sistem ini, di mana lantai bertumpu langsung pada kolom tanpa balok penyangga, memiliki keunggulan biaya dan arsitektur, tetapi sangat rentan terhadap keruntuhan saat terjadi gempa. Desain ini sering kali runtuh secara tiba-tiba dan rapuh, seperti yang terlihat dalam video keruntuhan.
- Flat Slab
- Metode konstruksi lantai yang bertumpu langsung pada kolom tanpa balok.
- Unggul dalam biaya dan arsitektur, tetapi rentan terhadap gempa.
Karakteristik Gempa Myanmar: Dangkal dan Patahan Lurus
Daryono menjelaskan bahwa gempa Myanmar merupakan gempa besar dan dangkal, dengan pusat gempa hanya 10 km di bawah permukaan. Kedalaman yang dangkal ini meningkatkan intensitas guncangan di permukaan. Gempa ini juga terjadi di sepanjang Sesar Sagaing, patahan lurus yang membentang sejauh 1.200 km dari Myanmar utara ke selatan.
Sesar Sagaing sangat aktif secara tektonik, dengan laju pergeseran yang signifikan sekitar 18-22 mm per tahun. Gempa-gempa besar berkekuatan M 6 hingga M 7 telah terjadi di sepanjang sesar ini di masa lalu, menunjukkan potensi seismik yang tinggi di wilayah tersebut.
Dr. Rebecca Bell dari Imperial College London menjelaskan bahwa patahan lurus memungkinkan energi gempa menyebar jauh, hingga ke Thailand. Jenis tanah juga memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana gempa bumi dirasakan di permukaan. Tanah lunak seperti yang ada di Bangkok memperlambat gelombang seismik dan memperkuatnya, sehingga meningkatkan intensitas guncangan.
Kesimpulan
Keruntuhan bangunan tinggi di Bangkok setelah gempa Myanmar adalah hasil dari kombinasi kompleks faktor-faktor geologis dan struktural. Tanah lunak di Bangkok memperkuat guncangan gempa, sementara desain struktur bangunan yang rentan, seperti sistem flat slab, meningkatkan risiko keruntuhan. Karakteristik gempa Myanmar yang dangkal dan patahan lurus juga berkontribusi pada intensitas guncangan yang dirasakan di Bangkok.
Kejadian ini menggarisbawahi pentingnya memahami risiko seismik dan menerapkan praktik konstruksi yang aman di daerah rawan gempa. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengungkap secara rinci penyebab pasti keruntuhan bangunan di Bangkok dan untuk mengembangkan strategi mitigasi yang efektif untuk melindungi infrastruktur dari gempa bumi di masa depan.