Sorotan Tajam Praktik Rangkap Jabatan Pejabat: Pelanggaran Hukum dan Potensi Konflik Kepentingan

Sorotan Tajam Praktik Rangkap Jabatan Pejabat: Pelanggaran Hukum dan Potensi Konflik Kepentingan

Praktik rangkap jabatan di kalangan pejabat publik kembali menjadi sorotan tajam. Fenomena ini, yang melibatkan pejabat dari berbagai tingkatan, mulai dari menteri hingga pejabat eselon, memicu kekhawatiran publik terkait potensi konflik kepentingan, efektivitas kinerja, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

Praktik rangkap jabatan bukan lagi sekadar isu etika, melainkan telah menjadi persoalan hukum yang serius. Sejumlah undang-undang secara tegas melarang praktik ini, dengan tujuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta menjaga profesionalitas dan integritas pejabat publik.

Ragam Pelanggaran dan Potensi Konflik Kepentingan

Beberapa kasus rangkap jabatan yang mencuat ke publik antara lain:

  • Pejabat Kementerian Keuangan: Puluhan pejabat Kementerian Keuangan, mulai dari wakil menteri hingga direktur, terindikasi merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
  • Direktur Jenderal Pajak: Kasus Direktur Jenderal Pajak yang merangkap beberapa jabatan sekaligus, termasuk komisaris di BUMN, menjadi sorotan khusus.
  • Kasus BPI Danantara: Penempatan menteri sebagai dewan pengawas dan CEO di BPI Danantara, serta keterlibatan pejabat eselon dan swasta dalam jajaran manajemen, menimbulkan pertanyaan serius tentang tata kelola perusahaan dan potensi konflik kepentingan.

Praktik rangkap jabatan ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah, di antaranya:

  • Konflik Kepentingan: Pejabat yang merangkap jabatan di berbagai instansi atau perusahaan berpotensi menghadapi konflik kepentingan, di mana kepentingan pribadi atau kepentingan instansi lain dapat memengaruhi pengambilan keputusan.
  • Penurunan Kinerja: Beban kerja yang berlebihan akibat rangkap jabatan dapat menyebabkan penurunan kinerja dan fokus pejabat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
  • Penyalahgunaan Wewenang: Rangkap jabatan dapat membuka peluang bagi pejabat untuk menyalahgunakan wewenang dan jabatannya demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
  • Ketidakadilan: Praktik rangkap jabatan dapat menciptakan ketidakadilan bagi pejabat lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama, serta menghambat regenerasi kepemimpinan.

Landasan Hukum yang Dilanggar

Praktik rangkap jabatan secara jelas melanggar sejumlah undang-undang, di antaranya:

  • UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme: Undang-undang ini melarang praktik nepotisme, termasuk penempatan pejabat secara tertutup tanpa seleksi terbuka.
  • UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara: Undang-undang ini melarang menteri untuk merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta, serta pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD.
  • UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Undang-undang ini melarang pelaksana pelayanan publik untuk merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha, baik milik negara/daerah maupun swasta, untuk menghindari benturan kepentingan.
  • UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara: Undang-undang ini melarang dewan komisaris untuk merangkap jabatan sebagai anggota direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas pada BUMN lain, anak usaha BUMN, dan badan usaha milik daerah, serta jabatan lain yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

Desakan untuk Tindakan Tegas

Masyarakat sipil dan para pengamat hukum mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap praktik rangkap jabatan ini. Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain:

  • Evaluasi dan Penertiban: Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua jabatan rangkap yang ada di berbagai instansi dan perusahaan, serta menertibkan praktik yang melanggar undang-undang.
  • Penegakan Hukum: Aparat penegak hukum harus menindak tegas pejabat yang terbukti melakukan rangkap jabatan dan menyalahgunakan wewenangnya.
  • Transparansi dan Akuntabilitas: Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengangkatan dan penempatan pejabat, serta memastikan bahwa semua proses dilakukan secara terbuka dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Revisi Peraturan: Pemerintah perlu merevisi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rangkap jabatan untuk memperjelas batasan dan sanksi bagi pelanggar.

Dengan tindakan tegas dan komprehensif, diharapkan praktik rangkap jabatan dapat dihentikan dan tidak menjadi budaya yang merugikan negara dan masyarakat.