Sate Kere: Jejak Kuliner Rakyat Jelata di Tengah Penjajahan Belanda
Sate Kere: Simbol Perlawanan Kuliner dan Cita Rasa Merakyat
Di balik kelezatan sate kere, tersimpan cerita panjang tentang sejarah dan perjuangan. Kuliner khas Solo dan Yogyakarta ini bukan sekadar hidangan murah meriah, melainkan juga representasi dari kondisi sosial ekonomi masyarakat di era penjajahan Belanda.
Sate, secara umum, dikenal sebagai hidangan berbahan dasar daging yang ditusuk dan dibakar, seperti sate kambing atau sate ayam. Namun, sate kere menawarkan pengalaman yang berbeda. Kata "kere" dalam bahasa Jawa berarti miskin. Nama ini merujuk pada bahan-bahan yang digunakan, yaitu jeroan sapi (seperti babat, usus, dan ginjal), tetelan atau koyor (jaringan ikat sapi), serta tempe dan tempe gembus. Bahan-bahan ini dulunya merupakan sisa atau bagian yang kurang diminati, sehingga harganya sangat terjangkau.
Asal Usul Sate Kere di Masa Penjajahan
Sejarah mencatat bahwa sate kere lahir sebagai bentuk adaptasi dan perlawanan kuliner terhadap kondisi penjajahan. Pada masa itu, daging merupakan barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh kaum penjajah dan priyayi. Masyarakat pribumi yang kesulitan mendapatkan daging kemudian berkreasi dengan memanfaatkan bahan-bahan yang lebih murah dan mudah didapatkan. Lahirlah sate kere, yang menjadi alternatif hidangan sate bagi kalangan rakyat jelata.
Sate kere bukan hanya sekadar makanan pengganti daging. Lebih dari itu, kuliner ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh penjajah. Sate kere menjadi bukti bahwa meskipun dalam kondisi serba kekurangan, masyarakat pribumi tetap mampu menciptakan hidangan lezat dan bernilai gizi.
Kelezatan yang Tak Lekang oleh Waktu
Meski terbuat dari bahan-bahan sederhana, sate kere memiliki cita rasa yang khas dan menggugah selera. Rahasia kelezatannya terletak pada bumbu kacang yang kaya rempah. Bumbu kacang ini terbuat dari kacang tanah yang digiling halus, kemudian dicampur dengan cabai, bawang merah, bawang putih, kencur, gula merah, dan garam. Perpaduan rasa manis, pedas, dan gurih dari bumbu kacang inilah yang membuat sate kere terasa begitu istimewa.
Sate Kere Masa Kini
Saat ini, sate kere telah menjadi bagian tak terpisahkan dari khazanah kuliner Solo dan Yogyakarta. Hidangan ini dapat ditemukan dengan mudah di berbagai warung kaki lima hingga restoran. Sate kere juga telah mengalami berbagai inovasi dan modifikasi, baik dari segi bahan maupun penyajian.
Berikut beberapa penjual sate kere populer di Solo dan Yogyakarta:
- Sate Kere Yu Rebi (Solo): Berdiri sejak 1970-an, menawarkan berbagai jenis sate seperti sate babat, sate ginjal, sate kikil, sate tempe gembus, dan sate tempe dele.
- Sate Kere Mbah Suwarni (Yogyakarta): Berlokasi di area Pasar Beringharjo, terkenal dengan sate koyor dan sate ginjal yang disajikan dengan lontong dan bumbu kacang.
Sate kere bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga cerminan sejarah, budaya, dan identitas masyarakat Jawa. Di balik kesederhanaannya, tersimpan nilai-nilai luhur tentang perjuangan, kreativitas, dan solidaritas. Sate kere adalah bukti bahwa cita rasa otentik dan bermakna dapat lahir dari kondisi yang paling sederhana sekalipun.
Bahan-bahan Sate Kere: * Jeroan Sapi (babat, usus, ginjal) * Tetelan / Koyor (jaringan ikat sapi) * Tempe * Tempe Gembus
Bumbu Kacang: * Kacang Tanah * Cabai * Bawang Merah * Bawang Putih * Kencur * Gula Merah * Garam