Penertiban Sawit Ilegal Berpotensi Merusak Iklim Investasi dan Reputasi Indonesia, LPEM UI Menilai
Penataan Tata Kelola Sawit Mendesak untuk Jaga Citra dan Investasi
Penertiban perkebunan sawit ilegal yang dilakukan secara masif oleh pemerintah menuai sorotan dari berbagai pihak. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengingatkan bahwa tindakan penyitaan dan penyegelan yang berlebihan terhadap lahan-lahan sawit berpotensi merusak citra Indonesia di mata internasional, terutama di Eropa, serta mengganggu iklim investasi.
"Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, penyitaan disertai penyegelan yang berlebihan terhadap kebun-kebun sawit yang dinilai ilegal akan menambah buruk image Indonesia di mata dunia terutama bagi negara-negara Eropa," ujar Eugenia Mardanugraha, Peneliti LPEM FEB UI.
Eugenia menekankan pentingnya penataan tata kelola sawit yang baik dan berkelanjutan. Ia menyoroti bahwa kampanye hitam yang sering dilancarkan oleh negara-negara Eropa terhadap sawit Indonesia, seperti isu eksploitasi anak dan penebangan hutan, telah berdampak negatif pada reputasi Indonesia. Penertiban yang berlebihan dikhawatirkan akan memperburuk persepsi tersebut dan menimbulkan ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya dapat menghambat investasi.
Dampak Penertiban terhadap Investor dan Masyarakat
Lebih lanjut, Eugenia menyoroti nasib perusahaan-perusahaan sawit yang telah mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU). Ia mengingatkan bahwa proses pengurusan izin tersebut memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Penertiban yang tidak hati-hati dapat merugikan investor yang telah berinvestasi secara legal.
"Saya kasihan kepada perusahaan-perusahaan yang sudah mengurus IUP dan HGB. Kalau IUP kan ke bupati, tapi kalau mengurus HGU itu kan tidak gampang. Prosesnya bertahun-tahun, dan biayanya juga tidak murah," katanya.
Data dari Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menunjukkan bahwa sejak 24 Februari hingga 18 Maret 2025, perkebunan sawit yang berhasil disita mencapai 317 ribu hektare yang tersebar di 19 provinsi. Lahan sitaan tersebut rencananya akan dikelola oleh PT Agrinas Palma Nusantara, yang telah menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 8 triliun.
LPEM UI juga menyoroti dampak penertiban terhadap masyarakat sekitar perkebunan sawit yang menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut. Penyitaan lahan dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan dan penurunan pendapatan, yang pada akhirnya dapat berdampak pada perekonomian secara makro.
Tantangan Pengelolaan Lahan Sitaan
Eugenia juga mempertanyakan kemampuan pengelolaan lahan-lahan sawit yang disita. Ia mengingatkan bahwa pengelolaan perkebunan sawit membutuhkan keahlian dan investasi yang signifikan. Jika tidak dikelola dengan baik, produksi sawit dapat menurun, yang akan merugikan negara.
"Jika tidak dikelola secara baik, dikhawatirkan akan mengalami penurunan produksi. Apalagi lahan sawit yang masuk kawasan hutan luasnya sekitar 3,3 juta hektare. Dan hal tersebut akan membahayakan produksi sawit secara nasional," katanya.
Ia menyarankan agar pemerintah merekrut para pakar sawit yang profesional dan mempersiapkan investasi yang diperlukan untuk mengelola lahan sitaan secara optimal. Selain itu, pemerintah juga perlu mencari solusi bagi sawit yang ditolak oleh negara-negara Eropa yang menerapkan standar ketat seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Standar ini melarang pembelian sawit dari kawasan hutan. Eugenia mempertanyakan kemana sawit tersebut akan dijual.
Poin-Poin Penting:
- Penertiban sawit ilegal perlu dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga citra Indonesia dan iklim investasi.
- Perlu ada kejelasan hukum dan kepastian bagi investor yang telah berinvestasi secara legal.
- Dampak sosial ekonomi dari penertiban terhadap masyarakat sekitar perkebunan sawit perlu diperhatikan.
- Pengelolaan lahan sitaan membutuhkan keahlian dan investasi yang memadai.
- Perlu solusi untuk pemasaran sawit yang ditolak oleh negara-negara dengan standar ketat.
Dengan demikian, penertiban sawit ilegal harus dilakukan secara proporsional dan terukur, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pemerintah perlu mengedepankan dialog dan solusi yang konstruktif untuk menciptakan tata kelola sawit yang berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak.