Polemik Kompensasi Sopir Angkot Puncak: Dugaan Pemotongan Dana Mencuat, Dishub Bogor Bertindak
Polemik Kompensasi Sopir Angkot Puncak: Dugaan Pemotongan Dana Mencuat, Dishub Bogor Bertindak
Bogor, Jawa Barat - Dugaan penyimpangan dalam penyaluran dana kompensasi bagi sopir angkutan kota (angkot) di kawasan Puncak, Bogor, mencuat ke permukaan. Sejumlah sopir angkot mengeluhkan menerima dana yang tidak sesuai dengan jumlah yang dijanjikan, memicu pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyaluran.
Menurut laporan yang diterima Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Bogor, seharusnya setiap sopir angkot menerima kompensasi sebesar Rp1.500.000 sebagai pengganti penghasilan selama masa pembatasan operasional di kawasan Puncak selama libur Lebaran. Kompensasi tersebut terdiri dari uang tunai sebesar Rp1.000.000 dan paket sembako senilai Rp500.000.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya ketidaksesuaian. Beberapa sopir angkot mengaku hanya menerima Rp800.000, menimbulkan kecurigaan adanya pemotongan atau praktik pungutan liar (pungli) oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
"Kami menerima laporan bahwa ada sopir yang menerima kompensasi yang nominalnya tidak sesuai. Ada sopir yang mengaku menerima kompensasi sebesar Rp800 ribu," ungkap Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Kabupaten Bogor, Dadang Kosasih, kepada awak media.
Menanggapi keluhan tersebut, Dishub Kabupaten Bogor berjanji akan melakukan investigasi mendalam untuk mengungkap dugaan penyimpangan tersebut. Dadang menegaskan bahwa pihaknya akan memantau dan menindak tegas siapa pun yang terbukti melakukan pemotongan dana kompensasi.
"Kita akan pantau siapa yang melakukan ini, yang jelas Rp1,5 juta harus full ke sopir," tegasnya.
Alasan Angkot Masih Beroperasi
Terungkapnya dugaan pemotongan dana kompensasi ini menjadi salah satu alasan mengapa sejumlah angkot masih nekat beroperasi di kawasan Puncak, meskipun telah ada larangan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat selama masa libur Lebaran.
Dadang Kosasih menjelaskan bahwa beberapa angkot yang masih beroperasi tersebut kemungkinan tidak terdaftar sebagai penerima subsidi kompensasi. Namun, ia juga mengakui bahwa ketidakjelasan informasi dan dugaan pemotongan dana kompensasi menjadi faktor pendorong bagi sopir angkot untuk tetap mencari nafkah.
"Saya coba tanya ke beberapa angkot yang masih beroperasi, saya langsung eksekusi. Dalam artian begini, itu ada beberapa kendaraan yang tidak kena subsidi. Makanya dia mencoba untuk beroperasi," kata Dadang.
Reaksi Sopir Angkot
Salah seorang sopir angkot bernama Dadang, yang ditemui di kawasan Gadog, mengaku tidak menerima kompensasi dari pemerintah. Ia mengatakan terpaksa mengangkut penumpang karena tidak memiliki penghasilan lain.
"Nggak (dapat), pengen dapat, tapi nggak tahu peraturannya," tuturnya.
Kasus dugaan pemotongan dana kompensasi ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah. Kejadian ini menyoroti pentingnya pengawasan dan transparansi dalam penyaluran bantuan sosial, terutama bagi masyarakat yang terdampak pembatasan aktivitas ekonomi.
Langkah Selanjutnya
Dishub Kabupaten Bogor berjanji akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memastikan penyaluran dana kompensasi berjalan lancar dan tepat sasaran. Mereka juga akan membuka saluran pengaduan bagi sopir angkot yang merasa dirugikan.
Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah untuk lebih berhati-hati dan transparan dalam mengelola dana publik, serta memastikan bantuan sosial sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Kedepan, pemerintah kabupaten Bogor harus lebih memperhatikan lagi penyaluran dana kompensasi ini agar tidak terjadi lagi.
Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Investigasi mendalam terhadap dugaan pemotongan dana kompensasi.
- Penindakan tegas terhadap oknum yang terlibat.
- Perbaikan sistem penyaluran dana kompensasi.
- Peningkatan pengawasan dan transparansi.
- Pembukaan saluran pengaduan bagi sopir angkot.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan masalah kompensasi sopir angkot di Puncak dapat segera diselesaikan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dapat dipulihkan.