Konvoi Bantuan Palang Merah China Dihantam Tembakan di Myanmar, Gencatan Senjata Diabaikan di Tengah Bencana Gempa

Konvoi Bantuan Palang Merah China Dihantam Tembakan di Myanmar, Gencatan Senjata Diabaikan di Tengah Bencana Gempa

Di tengah upaya internasional untuk memberikan bantuan kemanusiaan pasca-gempa dahsyat yang melanda Myanmar, sebuah insiden mengkhawatirkan terjadi: konvoi Palang Merah China yang membawa bantuan bagi korban gempa dilaporkan menjadi sasaran tembakan. Peristiwa ini terjadi pada Selasa (1/4) malam, menambah rumit situasi kemanusiaan yang sudah genting.

Menurut Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA), sebuah kelompok bersenjata etnis yang aktif di wilayah tersebut, konvoi sembilan kendaraan itu diberondong dengan tembakan senapan mesin berat saat melintasi Kotapraja Naung Cho di Negara Bagian Shan. Konvoi tersebut sedang dalam perjalanan menuju Kota Mandalay, salah satu wilayah yang paling parah terdampak gempa.

TNLA mengklaim bahwa mereka mengendalikan lokasi serangan dan sebelumnya telah memberi tahu junta militer Myanmar mengenai rute dan rencana pengiriman bantuan. Junta militer Myanmar membenarkan terjadinya insiden tersebut, dengan juru bicara Mayor Jenderal Zaw Min Tun menyatakan bahwa serangan terjadi sekitar pukul 21:30 waktu setempat. Namun, junta mengklaim bahwa tidak ada korban luka dalam insiden itu.

Peristiwa ini terjadi di tengah situasi politik dan militer yang kompleks di Myanmar. Aliansi Tiga Persaudaraan, yang terdiri dari Tentara Arakan, Tentara Aliansi Demokrasi Nasional Myanmar, dan TNLA, telah mengumumkan gencatan senjata sepihak selama sebulan untuk memfasilitasi operasi penyelamatan dan bantuan pasca-gempa. Namun, Panglima Militer Myanmar, Min Aung Hlaing, menolak gencatan senjata tersebut, menuduh kelompok-kelompok yang bersekutu dengan pemerintah bayangan dapat memanfaatkan situasi ini.

Dampak Gempa dan Respon Internasional

Gempa bumi yang terjadi pada 28 Maret 2025, telah menyebabkan kerusakan yang meluas dan hilangnya nyawa di Myanmar dan negara-negara tetangga. Hingga Rabu (2/4), jumlah korban tewas telah mencapai 2.719 orang, dengan 4.521 orang terluka dan 441 orang masih hilang. Min Aung Hlaing memperingatkan bahwa jumlah korban tewas kemungkinan akan terus bertambah, berpotensi melebihi 3.000 orang.

Gempa tersebut telah meratakan sebagian besar Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, dan menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur, termasuk jalan, jembatan, dan bangunan. Pagoda Maha Myat Muni yang ikonik di Mandalay juga dilaporkan ambruk akibat gempa.

Sejumlah lembaga bantuan telah melaporkan kekurangan makanan, air, obat-obatan, dan tempat tinggal yang parah di wilayah yang terdampak gempa. PBB menuduh junta militer menjadikan pasokan bantuan sebagai alat perang, dengan memblokir akses bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak.

Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, mendesak junta untuk menghentikan semua operasi militer dan memprioritaskan penyaluran bantuan kepada para korban gempa. "Ini benar-benar keterlaluan dan tidak dapat diterima," katanya.

Respon internasional terhadap bencana ini terus meningkat. Tim SAR dari berbagai negara, termasuk Indonesia, China, India, Malaysia, Filipina, Vietnam, Irlandia, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, Inggris, dan AS, telah dikerahkan untuk membantu upaya pencarian dan penyelamatan.

Indonesia mengirimkan 73 personel dari Indonesia Search and Rescue (INASAR) dan bantuan logistik menggunakan dua pesawat Hercules dan satu pesawat Boeing 747. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, mengakui bahwa situasi di Myanmar mungkin lebih sulit daripada penugasan sebelumnya di Turki dan Suriah.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan permohonan mendesak untuk bantuan sebesar US$8 juta untuk menanggulangi dampak gempa. Sejumlah negara telah merespons permohonan ini, dengan Indonesia menjanjikan bantuan senilai US$1 juta dalam bentuk Tim Urban Search and Rescue (USAR), Tim Emergency Medical Team (EMT), dan peralatan logistik.

Tantangan dalam Penyaluran Bantuan

Upaya penyelamatan dan penyaluran bantuan terhambat oleh berbagai tantangan, termasuk kekurangan peralatan yang parah, jaringan komunikasi yang tidak merata, serta jalan dan jembatan yang rusak. Di beberapa daerah, penduduk setempat terpaksa menggali reruntuhan dengan tangan kosong untuk mencari korban selamat.

Junta militer Myanmar, yang merebut kekuasaan pada tahun 2021, tidak lagi menguasai sebagian besar wilayah negara itu akibat perang saudara yang sedang berlangsung. Meskipun junta telah mengajukan permohonan bantuan internasional, mereka terus melakukan serangan udara dan serangan drone terhadap kelompok-kelompok bersenjata.

Kerusakan pada jalan raya utama yang menghubungkan Yangon, Ibu Kota Naypyidaw, dan Mandalay telah menyebabkan gangguan transportasi yang parah. Kekurangan pasokan medis, termasuk peralatan P3K, kantong darah, anestesi, obat-obatan penting, dan tenda untuk petugas kesehatan, juga menjadi masalah yang mendesak.

Di tengah situasi yang kompleks dan menantang ini, komunitas internasional terus berupaya untuk memberikan bantuan kepada para korban gempa di Myanmar. Namun, insiden penembakan terhadap konvoi bantuan Palang Merah China menggarisbawahi risiko dan kesulitan yang dihadapi dalam upaya kemanusiaan di negara yang dilanda konflik ini.

Dampak Gempa di Thailand

Gempa tersebut juga dirasakan hingga ke negara tetangga, Thailand. Di Bangkok, video menunjukkan air menyembur keluar dari kolam renang di atap gedung. Gempa menyebabkan sebuah gedung pemerintah yang sedang dibangun di dekat Taman Chatuchak di Bangkok runtuh, yang diyakini menyebabkan sekitar 75 pekerja bangunan terperangkap di reruntuhan.