Deklarasi 'Hari Pembebasan': Amerika Serikat Tinggalkan Kosmopolitanisme dan Dampaknya Bagi Indonesia

Era Baru Hubungan Internasional: Amerika Serikat Tinggalkan Kosmopolitanisme dan Dampaknya Bagi Indonesia

Deklarasi "Hari Pembebasan" oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di Rose Garden bukan sekadar pengumuman tarif dagang. Lebih dari itu, momen ini menjadi simbol pergeseran ideologis yang fundamental, mengikis fondasi kosmopolitanisme yang mendominasi abad ke-20. Keputusan ini bukan sekadar langkah teknokratis atau manuver ekonomi semata, melainkan sebuah pernyataan strategis yang menandai perubahan mendalam dalam cara Amerika Serikat memandang dirinya, dunia, dan interaksinya dalam tatanan global.

Dengan tindakan yang dramatis, Trump mengisyaratkan bahwa Amerika Serikat tidak lagi ingin menjadi penggerak utama keterbukaan global. Alih-alih, negara ini memilih untuk bertindak seperti negara-negara lain, yaitu berorientasi pada perhitungan, transaksional, dan cenderung paranoid. Langkah ini bukanlah anomali, melainkan cerminan dari tren yang berkembang di berbagai negara, yaitu kebangkitan kekuasaan yang beroperasi melalui eksklusi, bukan inklusi.

Secara historis, tindakan ini bukanlah hal baru dalam politik perdagangan internasional. Ia mengingatkan kita pada kebijakan proteksionisme sebelum Perang Dunia II, khususnya Undang-Undang Smoot-Hawley yang mempercepat terjadinya depresi ekonomi global. Namun, perbedaan krusial kali ini adalah bahwa kebijakan ini diambil oleh negara yang selama 75 tahun terakhir menjadi pusat dari arsitektur ekonomi terbuka dunia. Amerika Serikat kini melepaskan peran kepemimpinan globalnya.

Dampak Tarif Terhadap Indonesia

Narasi "pembebasan" dari beban perdagangan internasional adalah ilusi ideologis yang menutupi realitas bahwa Amerika Serikat telah kehilangan kemampuannya untuk mendikte dunia sesuai dengan keinginannya. Tarif sebesar 32 persen yang dikenakan pada Indonesia bukan semata-mata tentang neraca perdagangan, produk, atau defisit, melainkan sebuah tindakan pendisiplinan terhadap negara-negara yang tidak lagi sepenuhnya tunduk secara ekonomi, namun masih terhubung secara sistemik. Dalam logika ini, Indonesia dianggap sebagai negara yang "terlalu berhasil," bukan sebagai musuh, tetapi terlalu mandiri untuk menjadi sekutu yang ideal.

Trump menyadari bahwa lembaga-lembaga global seperti WTO telah melemah. Ia memanfaatkan kevakuman norma dan kelelahan multilateral untuk menegaskan kembali prinsip lama bahwa pihak yang berkuasa berhak menentukan aturan. Era pasca-Perang Dingin menjanjikan pembagian kemakmuran, namun janji itu kini telah usang. Yang tersisa hanyalah sisa-sisa struktur global yang tidak lagi mampu mewadahi aspirasi negara-negara berkembang, dan juga tidak mampu menahan ambisi dominasi dari negara-negara besar.

Dalam konteks ini, Indonesia bukan hanya korban tarif, melainkan saksi atas runtuhnya kepercayaan yang menjadi fondasi hubungan antarnegara. Fakta bahwa tarif terhadap Indonesia hanya berbeda dua persen dari tarif terhadap China mengindikasikan bahwa relasi geopolitik telah mengalami dematerialisasi. Tidak ada lagi perbedaan yang jelas antara lawan dan mitra; semuanya dievaluasi berdasarkan perhitungan keuntungan jangka pendek. Indonesia dapat menjadi mitra strategis dalam menyeimbangkan kekuatan di Indo-Pasifik, namun tetap tunduk pada kalkulasi tarif. Ini mengirimkan pesan kepada negara-negara berkembang bahwa keterlibatan aktif dalam menjaga tatanan internasional tidak akan melindungi mereka dari hukuman ketika kekuatan hegemonik mengalami krisis legitimasi.

Krisis Sistemik dan Otoritarianisme Ekonomi

Tindakan sepihak Amerika Serikat mencerminkan krisis sistemik yang lebih dalam. Dunia tidak bergerak menuju sistem yang baru, melainkan terombang-ambing dalam masa transisi yang ditandai dengan meningkatnya otoritarianisme ekonomi, meluasnya disilusionalisme geopolitik, dan hilangnya struktur nilai bersama. Ini adalah masa ketika yang lama belum mati dan yang baru belum lahir.

Trump bukanlah penyebab utama, melainkan produk dari pergeseran struktural yang telah berlangsung lama, yaitu berakhirnya unipolaritas, kebangkrutan neoliberalisme, dan kebangkitan nasionalisme transnasional yang dipoles dengan logika efisiensi.

Respons Indonesia: Lompatan Konseptual

Indonesia harus merespons situasi ini secara eksistensial. Tidak cukup hanya memperluas pasar atau mendiversifikasi mitra dagang. Yang diperlukan adalah lompatan konseptual dalam cara kita memposisikan diri di dunia. Kita harus berhenti melihat diri sebagai objek dari keputusan global, dan mulai mendefinisikan posisi kita berdasarkan kemampuan kita untuk menulis ulang narasi besar. Pertanyaan utamanya bukanlah bagaimana mengurangi dampak tarif, tetapi bagaimana mengubah skema permainan itu sendiri.

Selama kita masih berpikir dalam kerangka "akses pasar", kita akan terus berada dalam posisi inferior. Kita perlu naik ke tingkat agenda setting, diplomasi nilai, dan konsolidasi blok-blok baru yang mampu berbicara setara dengan kekuatan hegemonik lama. Langkah Amerika Serikat membuka ruang refleksi bahwa globalisasi tidak pernah netral. Ia selalu dipandu oleh kepentingan, dipertahankan oleh narasi, dan ditegakkan oleh ketimpangan. Ketika narasi itu kini ditinggalkan oleh penciptanya sendiri, kita harus bertanya: apakah kita ingin melanjutkan cerita yang sama, atau menulis ulang ceritanya dari sudut pandang kita sendiri?

Di sinilah letak tugas strategis negara-negara seperti Indonesia, yaitu bukan sekadar beradaptasi terhadap perubahan, tetapi memimpin perubahan itu dengan membangun aliansi yang tidak hanya ekonomis, tetapi juga politis dan kultural. Apa yang dilakukan Trump harus dibaca sebagai momen paradigmatik bahwa dunia pasca-2025 bukanlah kelanjutan dari dunia pasca-1991. Dunia tidak lagi bergerak dalam garis lurus sejarah liberalisme, tetapi dalam pusaran kontestasi berbagai proyek modernitas yang bersaing. Dalam pusaran itu, yang menentukan bukanlah siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang mampu merumuskan ulang cakrawala politik global.

Indonesia, dengan segala kompleksitas sejarah, demografi, dan posisinya, memiliki peluang langka untuk mengisi kevakuman itu. Namun, peluang itu hanya bisa diambil jika kita berhenti menjadi objek strategi negara lain, dan mulai menjadi subjek dari narasi kita sendiri. Tarif bukan akhir dari perdagangan, tetapi ia bisa menjadi akhir dari ilusi keterbukaan global. Jika "Hari Pembebasan" dimaksudkan untuk membebaskan Amerika Serikat dari komitmennya terhadap dunia, maka saatnya dunia membebaskan dirinya dari dominasi satu kutub. Kebebasan tidak datang dari menunggu. Ia harus diciptakan. Dan penciptaan itu hanya mungkin jika kita berani berpikir sendiri, bertindak sendiri, dan mendefinisikan dunia dalam bahasa kita sendiri.