Rupiah Tertekan: Tarif Impor AS Ancam Nilai Tukar Hingga Rp 17.000, Intervensi BI Jadi Tumpuan

Rupiah Tertekan: Tarif Impor AS Ancam Nilai Tukar Hingga Rp 17.000, Intervensi BI Jadi Tumpuan

Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) berada di bawah tekanan besar, dengan proyeksi yang mengkhawatirkan bahwa mata uang Garuda ini bisa menembus level Rp 17.000 per Dolar AS. Sentimen negatif ini dipicu oleh kebijakan tarif impor resiprokal yang diterapkan oleh AS, serta isu-isu ekonomi internal yang menghantui Indonesia.

Dampak Tarif Impor AS

Kebijakan tarif impor yang digulirkan AS menjadi katalis utama pelemahan Rupiah. Indonesia termasuk dalam daftar negara yang terkena dampak kebijakan ini, dengan tarif impor yang mencapai 32%. Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuabi, menyatakan bahwa kebijakan ini memberikan tekanan signifikan terhadap nilai tukar mata uang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ia memperkirakan, jika level Rp 16.900 terlewati, Rupiah berpotensi merosot ke Rp 17.000 per Dolar AS.

"Pelemahan Rupiah saat ini didorong oleh perang dagang. Dulu, sebelum ada perang dagang, fluktuasi Dolar sangat berpengaruh terhadap Rupiah. Tapi sekarang, dengan adanya biaya impor tambahan, situasinya berbeda," ujar Ibrahim.

Intervensi Pemerintah dan BI

Menghadapi ancaman pelemahan Rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diharapkan mengambil langkah-langkah strategis. Ibrahim menekankan pentingnya intervensi BI di pasar valuta asing (valas), bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan melakukan lelang obligasi serta valuta asing di pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).

Selain itu, pemerintah perlu mengucurkan stimulus untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta koperasi, guna menjaga denyut nadi perekonomian. Stimulus juga perlu diberikan kepada masyarakat untuk meningkatkan daya beli, melalui program bantuan sosial (bansos) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

"Pemerintah harus mencari eksportir baru di negara-negara anggota BRICS maupun di luar BRICS. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan geopolitik yang memanas dan tensi perang dagang yang terus berlanjut," jelas Ibrahim.

Sentimen Pasar dan Harapan Negosiasi

Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, sependapat bahwa kebijakan tarif impor AS memberikan tekanan pada Rupiah. Namun, ia melihat adanya ruang untuk negosiasi ulang, yang dapat memberikan sentimen positif bagi pasar dan menahan penguatan Dolar AS.

"Meskipun demikian, Rupiah masih rawan melemah dengan sedikit saja isu negatif. Sementara Rupiah masih bisa melemah ke arah Rp 16.800-17.000 dengan potensi menguat ke arah 16.300-16.200," kata Ariston.

Ariston berharap pemerintah dapat mengatasi isu ini dengan baik, seperti negosiasi. Menurut dia, hal tersebut dapat memberikan sentimen positif untuk Rupiah setidaknya dalam jangka pendek.

Isu Internal dan Kebijakan Moneter

Ariston juga menyoroti pentingnya pengelolaan isu internal seperti penurunan daya beli, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan defisit anggaran. Penanganan yang baik terhadap isu-isu ini akan meningkatkan keyakinan investor dan mendukung penguatan Rupiah.

"BI tentu saja diharapkan bisa menahan pelemahan Rupiah dengan intervensi-intervensinya dan untuk sementara tidak mengeluarkan kebijakan moneter yang longgar untuk menjaga nilai tukar Rupiah," imbuh Ariston.

Dengan kombinasi antara intervensi pemerintah, negosiasi kebijakan tarif, dan pengelolaan isu internal, diharapkan Rupiah dapat terhindar dari tekanan yang lebih dalam dan kembali menemukan momentum penguatannya.