Menko Yusril dan Dubes AS Bahas Kebijakan Deportasi dan Dwikewarganegaraan
Menko Yusril dan Dubes AS Bahas Kebijakan Deportasi dan Dwikewarganegaraan
Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, baru-baru ini mengadakan pertemuan penting dengan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Kamala S. Lakhdhir. Pertemuan yang berlangsung di ruang rapat Menko Kumham pada Rabu, 5 Maret 2025, tersebut difokuskan pada dua isu krusial: kebijakan imigrasi Amerika Serikat yang berpotensi berdampak pada warga negara Indonesia (WNI), khususnya terkait deportasi, dan isu dwikewarganegaraan.
Dalam keterangan tertulis pada Kamis, 6 Maret 2025, Yusril menekankan komitmen pemerintah Indonesia untuk melindungi WNI yang terdampak kebijakan deportasi terbaru pemerintah Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia, tegas Yusril, akan aktif mengawal dan memastikan hak-hak WNI tersebut tetap terlindungi. Kerja sama erat dengan pihak berwenang AS menjadi kunci dalam upaya perlindungan tersebut. "Kami akan memberikan perlindungan penuh terhadap WNI yang terdampak kebijakan ini, dan akan bekerja sama dengan pihak AS untuk menjamin hak-hak mereka tetap dihormati," ujar Yusril.
Sementara itu, Dubes Lakhdhir memberikan klarifikasi mengenai kebijakan deportasi yang tengah diberlakukan. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini secara khusus menyasar individu yang berada di wilayah Amerika Serikat secara ilegal. Dubes Lakhdhir berupaya meredakan kekhawatiran dengan menekankan bahwa WNI yang berada di AS secara legal, seperti pelajar atau pekerja, tidak perlu khawatir. "Mereka yang akan dipulangkan hanyalah mereka yang berstatus ilegal. Kami mendorong kepulangan sukarela, bukan penahanan," tegas Dubes Lakhdhir.
Lebih lanjut, Dubes Lakhdhir mencontohkan beberapa kasus yang berpotensi menyebabkan deportasi, misalnya WNI yang awalnya masuk dengan visa pelajar namun kehilangan status legalnya setelah keluar dari universitas atau mereka yang masuk ke AS secara ilegal. Ia juga menegaskan komitmen AS untuk menjaga privasi para imigran yang dideportasi. "Privasi mereka yang dipulangkan akan dijaga, dan kasus mereka tidak akan dipublikasikan," tambahnya.
Selain isu deportasi, pertemuan tersebut juga membahas isu sensitif dwikewarganegaraan. Dubes Lakhdhir menyatakan bahwa pemerintah AS tidak keberatan jika warga keturunan Indonesia di AS memilih untuk menjadi warga negara Amerika. Namun, ia juga mengingatkan pentingnya bagi warga tersebut untuk memahami peraturan Indonesia yang hanya mengakui satu kewarganegaraan. "Dari sisi kami, tidak ada keberatan jika seseorang memilih kewarganegaraan AS. Namun, kami selalu mengingatkan mereka untuk memeriksa peraturan di Indonesia," jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Menko Yusril menegaskan kembali bahwa Indonesia tetap berpegang pada prinsip kewarganegaraan tunggal. Namun, mengingat jumlah diaspora Indonesia yang terus bertambah, pemerintah Indonesia tetap membuka ruang untuk diskusi lebih lanjut mengenai kebijakan dwikewarganegaraan. Yusril menjelaskan kebijakan dwikewarganegaraan terbatas yang berlaku di Indonesia saat ini, yaitu pemberian dwikewarganegaraan terbatas kepada anak hasil pernikahan campur beda negara hingga usia 21 tahun. Setelah mencapai usia 21 tahun, mereka diwajibkan memilih satu kewarganegaraan.
Pertemuan diakhiri dengan penegasan dari Dubes Lakhdhir mengenai pentingnya menjaga hubungan bilateral yang kuat antara Indonesia dan Amerika Serikat di berbagai sektor, termasuk keamanan, hukum, dan kerja sama bilateral. Ia berharap kolaborasi antara kedua negara dapat terus diperkuat untuk kepentingan bersama.