DPR RI Desak Junta Myanmar Akhiri Kekerasan Pasca-Gempa Melalui Resolusi Darurat Internasional

Parlemen Indonesia Menginisiasi Resolusi Mendesak Penghentian Kekerasan di Myanmar Pasca-Gempa

Delegasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyampaikan kecaman keras terhadap tindakan kekerasan yang terus dilakukan oleh junta militer Myanmar terhadap warga sipil, terutama setelah gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang negara tersebut. Kecaman ini disampaikan dalam Sidang Umum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-150 yang berlangsung di Uzbekistan.

"Kami mendesak dengan sangat agar junta militer Myanmar segera menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil. Situasi ini sangat memprihatinkan, terutama karena masyarakat sipil sedang berjuang untuk pulih dan bertahan dari dampak gempa bumi," tegas Irine Yusiana Roba Putri, Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, dalam keterangannya.

Menyikapi situasi yang mendesak ini, DPR RI mengambil inisiatif untuk mengajukan resolusi darurat bersama dengan sejumlah parlemen dari negara-negara ASEAN. Langkah ini bertujuan untuk memberikan tekanan internasional yang lebih kuat terhadap junta militer Myanmar agar segera menghentikan kekerasan dan membuka akses bagi bantuan kemanusiaan.

"DPR RI mengajak parlemen dari negara-negara ASEAN yang hadir dalam Sidang Umum IPU ini untuk bersama-sama mengajukan resolusi darurat terkait situasi di Myanmar," ujar Irine, yang juga merupakan Anggota Fraksi PDI-P DPR RI.

Dalam forum parlemen dunia tersebut, DPR RI bersama dengan parlemen dari Thailand, Laos, Filipina, dan Malaysia, menginisiasi resolusi darurat (emergency item) dengan judul "Parliamentary diplomacy to promote peace and address the humanitarian crisis in Myanmar". Usulan resolusi darurat ini mendapatkan dukungan yang signifikan dari grup geopolitik Asia Pasifik, termasuk Kanada yang turut bergabung sebagai co-sponsor.

Diplomasi Kemanusiaan dan Peran Parlemen

Irine Yusiana Roba Putri juga menekankan pentingnya peran parlemen dalam memperkuat diplomasi kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa tindakan represif yang dilakukan oleh junta militer Myanmar tidak dapat dibenarkan dan justru akan memperburuk situasi yang sudah sangat sulit.

"Aksi represif yang terus dilakukan oleh junta militer di Myanmar hanya akan memperburuk situasi dan menghambat upaya penyaluran bantuan kemanusiaan bagi para korban bencana gempa bumi," tegasnya.

Selain Irine, delegasi DPR RI yang hadir dalam ajang internasional tersebut antara lain Ketua BKSAP Mardani Ali Sera, Wakil Ketua BKSAP dari Fraksi Demokrat, Bramantyo Suwondo, serta beberapa anggota BKSAP DPR seperti Diah Pikatan O.P Haprani, Fathi, dan Andi Muawiyah Ramli.

Pelanggaran Gencatan Senjata dan Serangan Militer Berlanjut

Sebelumnya, junta militer Myanmar dan sejumlah kelompok oposisi dilaporkan telah menyetujui penghentian sementara permusuhan untuk memfasilitasi distribusi bantuan kemanusiaan pasca-gempa. Namun, Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) melaporkan bahwa lebih dari 60 serangan telah dilancarkan oleh militer Myanmar sejak gempa bumi terjadi.

James Rodehaver, kepala tim Kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk Myanmar, mengungkapkan bahwa terdapat 16 laporan kredibel mengenai serangan udara yang masih berlangsung di beberapa wilayah, termasuk di area yang terdampak gempa. Informasi ini disampaikan oleh PBB kepada wartawan di Jenewa, mengutip pernyataan Rodehaver dari Bangkok.

"Selain itu, kami menerima dua laporan tambahan mengenai serangan sejak pengarahan dimulai," kata Rodehaver, menambahkan bahwa sebelumnya juru bicara kantor HAM PBB menyebutkan 14 serangan.

Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, menegaskan bahwa gencatan senjata harus diikuti dengan akses segera dan tanpa hambatan bagi pekerja penyelamat dan kemanusiaan. "Saya mendesak penghentian semua operasi militer, dan agar fokus diberikan pada bantuan kepada mereka yang terkena dampak gempa, serta memastikan akses tanpa hambatan ke organisasi kemanusiaan yang siap memberikan dukungan," tegas Turk.