Dugaan Korupsi Pertamina: Desakan Penguatan Pengawasan Internal dan Klarifikasi Pengoplosan BBM

Dugaan Korupsi Pertamina: Desakan Penguatan Pengawasan Internal dan Klarifikasi Pengoplosan BBM

Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno, mendesak Pertamina untuk memperkuat pengawasan internal guna mencegah terulangnya praktik korupsi. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menekankan peran krusial komisaris dalam mengawasi kinerja direksi dan memastikan tata kelola perusahaan yang transparan dan akuntabel. Menurutnya, kasus dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, anak perusahaan Pertamina, yang melibatkan sembilan tersangka, harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh dalam manajemen dan distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Pertamina, sebagai BUMN strategis penyedia BBM dan LPG, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan kelancaran pasokan energi bagi seluruh masyarakat. Kegagalan dalam hal ini dapat berdampak luas pada perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.

Pengawasan yang lemah dinilai menjadi celah utama terjadinya praktik korupsi. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sembilan tersangka terkait dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023. Salah satu dugaan pelanggaran yang disorot adalah pembelian Pertalite dengan harga Pertamax oleh PT Pertamina Patra Niaga, kemudian di-blending menjadi Pertamax. Kejagung menyatakan bahwa pembelian Pertalite (RON 90) dengan harga Pertamax (RON 92), yang kemudian di-blending menjadi Pertamax, merupakan praktik yang tidak dibenarkan. Hal ini diperkuat dengan temuan penyidik yang menunjukan adanya blending RON 90 (atau bahkan RON 88) dengan RON 92, kemudian dipasarkan dengan harga Pertamax. Kejagung akan menggunakan keterangan saksi dan melibatkan ahli untuk memperkuat bukti-bukti yang ada.

Di sisi lain, Plh Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, dalam rapat kerja bersama Komisi XII DPR RI, membantah adanya praktik pengoplosan Pertamax dengan Pertalite. Ega menjelaskan bahwa penambahan aditif pada Pertamax merupakan praktik umum di industri minyak guna meningkatkan kualitas produk. Ia menekankan bahwa penambahan aditif ini berbeda dengan pengoplosan. Namun, pernyataan ini langsung dibantah oleh Kejagung yang menegaskan temuan penyidikannya. Perbedaan keterangan ini semakin mempertegas perlunya transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik dalam manajemen Pertamina.

Peristiwa ini menyoroti pentingnya pengawasan yang efektif, baik dari internal perusahaan maupun dari lembaga pengawas eksternal. Kejadian ini juga menekankan urgensi untuk menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) secara ketat di seluruh BUMN. Perbaikan sistem dan prosedur, serta peningkatan integritas dan akuntabilitas para pelaku usaha di sektor energi menjadi kunci dalam mencegah terulangnya kasus korupsi serupa di masa depan. Kepercayaan publik terhadap BUMN, yang merupakan pilar penting perekonomian Indonesia, harus dijaga dan ditingkatkan dengan memastikan pengelolaan yang bersih dan transparan.

Kesimpulan: Kasus ini bukan hanya mengenai kerugian keuangan negara, tetapi juga mengenai kepercayaan publik dan stabilitas sektor energi nasional. Langkah tegas dan komprehensif perlu dilakukan untuk mencegah praktik korupsi dan memastikan pengelolaan BUMN yang bertanggung jawab dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.