Eskalasi Perang Dagang: Trump Naikkan Tarif Impor China Jadi 104%, Pasar Global Bergejolak
Eskalasi Perang Dagang: Trump Naikkan Tarif Impor China Jadi 104%, Pasar Global Bergejolak
Washington D.C. - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memicu ketegangan perdagangan global dengan memberlakukan tarif impor yang sangat tinggi, mencapai 104%, terhadap semua produk yang berasal dari China. Kebijakan kontroversial ini, yang dijadwalkan berlaku efektif pada Rabu (9/3) dini hari waktu setempat, merupakan respons langsung terhadap langkah serupa yang diambil oleh Beijing minggu lalu.
Keputusan sepihak ini telah mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh pasar keuangan dunia. Kekhawatiran akan resesi global yang semakin dalam dan potensi runtuhnya sistem perdagangan internasional yang telah dibangun selama beberapa dekade terakhir menjadi pemicu utama kepanikan investor. Bursa saham di berbagai belahan dunia merespons negatif, mencerminkan ketidakpastian dan risiko yang meningkat akibat eskalasi perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia.
Pasar saham Amerika Serikat sendiri telah mengalami tekanan jual selama empat hari berturut-turut, jauh sebelum pengumuman tarif terbaru ini. Indeks S&P 500, barometer utama kinerja pasar modal AS, ditutup di bawah level psikologis 5.000 pada perdagangan Selasa (8/3), menandai penurunan kumulatif sebesar 18,9% dari puncak tertinggi yang dicapai pada 19 Februari 2024. Data ini mencerminkan dampak buruk dari kebijakan tarif Trump yang agresif terhadap ratusan negara.
Kerugian nilai pasar saham yang dialami oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 mencapai angka fantastis, yaitu US$ 5,8 triliun atau setara dengan Rp 98.402,8 triliun (dengan kurs Rp 16.966 per dolar AS). Ini merupakan rekor kerugian terbesar dalam periode empat hari sejak indeks S&P 500 diluncurkan pada tahun 1950-an, sebuah indikasi jelas dari dampak destruktif kebijakan perdagangan yang diterapkan.
Tidak hanya pasar saham AS yang terpengaruh, pasar Asia juga mengalami turbulensi. Indeks Nikkei Jepang mengalami aksi jual besar-besaran pada Rabu (9/3) pagi, sementara pasar-pasar lain di kawasan Asia bersiap menghadapi tekanan serupa menjelang pemberlakuan tarif baru. Sentimen negatif ini mencerminkan kekhawatiran mendalam tentang prospek pertumbuhan ekonomi global di tengah ketidakpastian perdagangan yang meningkat.
Di tengah kekacauan pasar, pemerintahan Trump mengindikasikan bahwa negosiasi dengan China bukanlah prioritas utama saat ini. Para pejabat Gedung Putih menyatakan bahwa fokus saat ini adalah menjalin kesepakatan dengan sekutu dan mitra dagang AS. Penasihat ekonomi Gedung Putih, Kevin Hassett, dalam pernyataannya di Fox News, menegaskan bahwa pemerintah telah diinstruksikan untuk memprioritaskan negosiasi dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan.
Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menambahkan bahwa pendekatan negosiasi Trump akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk bantuan asing dan militer, selain faktor ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat akan menggunakan pengaruhnya di berbagai bidang untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang menguntungkan.
Berikut adalah poin-poin utama dampak eskalasi perang dagang:
- Kenaikan Tarif: Tarif impor China naik menjadi 104%.
- Kekhawatiran Resesi: Peningkatan kekhawatiran akan resesi global.
- Penurunan Pasar Saham: Penurunan tajam di pasar saham AS dan Asia.
- Kerugian Nilai Pasar: Kerugian besar nilai pasar saham perusahaan S&P 500.
- Fokus Negosiasi: Prioritas negosiasi dengan sekutu dan mitra dagang.
Kebijakan tarif baru ini diperkirakan akan memiliki implikasi jangka panjang terhadap ekonomi global. Kenaikan harga barang-barang impor dapat memicu inflasi, sementara penurunan permintaan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Perusahaan-perusahaan multinasional juga akan menghadapi tantangan baru dalam mengelola rantai pasokan mereka dan menyesuaikan strategi bisnis mereka dengan lingkungan perdagangan yang berubah.
Para analis memperingatkan bahwa eskalasi perang dagang dapat memicu spiral proteksionisme yang merugikan semua pihak. Diperlukan dialog konstruktif dan kompromi untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada ekonomi global. Dunia usaha dan investor akan terus memantau perkembangan situasi ini dengan cermat, berharap para pemimpin dunia dapat menemukan jalan keluar dari kebuntuan ini.