Tekanan Global dan Kebijakan AS Picu Pelemahan Rupiah: Sorotan Media Internasional

Rupiah Terhuyung di Tengah Badai Ekonomi Global: Media Asing Menyoroti

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan signifikan, memicu perhatian luas dari media internasional. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang berdampak pada berbagai negara, termasuk Indonesia. Pelemahan rupiah ini mengundang kekhawatiran dan analisis mendalam dari berbagai pihak.

Beberapa media asing terkemuka telah menyoroti secara khusus situasi ini:

  • The Economic Times: Media ini melaporkan bahwa rupiah mengalami penurunan sebesar 1,8%, mencapai titik terendah dalam perdagangan pada hari Selasa (8/4). Data dari LSEG menunjukkan bahwa rupiah menyentuh level 16.850 per dolar, melampaui rekor terburuk selama krisis keuangan Asia.

    • Bank Indonesia (BI) telah mengambil langkah-langkah intervensi agresif di pasar valuta asing (valas) spot, domestic non-deliverable forward (NDF), obligasi, dan pasar NDF luar negeri untuk menstabilkan nilai rupiah. Meski demikian, beberapa analis memprediksi potensi penurunan lebih lanjut, bahkan ketika bursa saham mengubah aturan perdagangan untuk mencegah aksi jual panik.
    • The Economic Times juga menyoroti anjloknya pasar saham Indonesia sebesar 9% pada hari Selasa (8/4), yang menyebabkan trading halt selama 30 menit. Indeks utama sempat turun ke level terendah sejak Juni 2021 sebelum akhirnya pulih sebagian setelah trading halt dicabut.
    • Channel News Asia (CNA): CNA menyoroti bahwa pelemahan rupiah terjadi setelah pembukaan pasar, sebagai reaksi terhadap penetapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump.

    • Rupiah melemah 1,8% ke rekor terendah setelah pasar dibuka kembali setelah libur panjang. Pasar Indonesia bereaksi terhadap gejolak pasar global yang disebabkan oleh tarif AS, yang mencakup rencana tarif sebesar 32% pada produk Indonesia.

    • Al-Jazeera: Al-Jazeera memberikan perspektif yang berbeda, dengan menyoroti tren penurunan nilai rupiah terhadap dolar sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024.

    • Sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto, nilai tukar rupiah telah merosot sekitar 8% terhadap dolar. Penurunan ini mencerminkan ketidakpastian pasar yang berasal dari tarif impor AS, namun tren penurunan sebenarnya sudah dimulai beberapa minggu sebelum pengumuman tersebut.

    • Al-Jazeera juga mengaitkan situasi ini dengan krisis keuangan Asia 1997-1998, yang menyebabkan kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto. Achmad Sukarsono, seorang analis di firma konsultan Control Risks di Singapura, menyatakan bahwa penurunan nilai tukar rupiah mencerminkan keyakinan investor dan pasar global terhadap keputusan ekonomi dari kepemimpinan saat ini.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelemahan Rupiah

Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap pelemahan rupiah meliputi:

  • Kebijakan Tarif AS: Penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump menciptakan ketidakpastian dan tekanan pada pasar global, termasuk Indonesia.
  • Sentimen Pasar Global: Gejolak pasar global, termasuk kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi global dan ketegangan geopolitik, dapat mempengaruhi nilai tukar mata uang negara-negara berkembang seperti Indonesia.
  • Faktor Domestik: Persepsi investor terhadap kebijakan ekonomi dan stabilitas politik di Indonesia juga dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.

Upaya Stabilisasi Rupiah oleh Bank Indonesia

Bank Indonesia (BI) telah mengambil berbagai langkah untuk menstabilkan nilai rupiah, termasuk:

  • Intervensi Pasar Valas: BI secara aktif melakukan intervensi di pasar valas spot, NDF, dan obligasi untuk mengurangi volatilitas dan menjaga stabilitas nilai rupiah.
  • Koordinasi dengan Pemerintah: BI berkoordinasi dengan pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan meningkatkan kepercayaan investor.

Tantangan dan Prospek ke Depan

Pelemahan rupiah menghadirkan tantangan bagi perekonomian Indonesia, termasuk potensi inflasi yang lebih tinggi dan peningkatan biaya impor. Namun, dengan kebijakan yang tepat dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan BI, Indonesia dapat mengatasi tantangan ini dan menjaga stabilitas ekonomi.

Penting untuk dicatat bahwa situasi ekonomi global dan domestik terus berubah, dan prospek nilai tukar rupiah akan sangat bergantung pada perkembangan di masa depan.