Dilema Produksi iPhone: Mengapa Apple Lebih Memilih China Daripada Amerika Serikat?

Dilema Produksi iPhone: Mengapa Apple Lebih Memilih China Daripada Amerika Serikat?

Wacana mengenai pemindahan lokasi produksi iPhone ke Amerika Serikat terus bergulir, terutama didorong oleh visi mantan Presiden Donald Trump. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa Apple, di bawah kepemimpinan Tim Cook, masih mengandalkan China sebagai pusat manufaktur utama. Mengapa demikian? Apakah visi Trump realistis, ataukah ada faktor-faktor krusial yang membuat Apple enggan meninggalkan rantai pasokan yang sudah mapan di Tiongkok?

Ambisi Trump dan Respon Apple

Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, pernah menyatakan keyakinan Trump bahwa investasi besar Apple dan penerapan tarif akan mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi di AS. Trump bahkan secara terbuka mengajak Apple untuk segera memindahkan operasinya ke Amerika melalui platform media sosialnya, Truth Social. Ia mengklaim bahwa banyak perusahaan lain yang sedang mempertimbangkan langkah serupa.

Namun, harapan ini berbenturan dengan pandangan yang lebih realistis dari Apple sendiri. Baik Tim Cook maupun mendiang Steve Jobs telah berulang kali menekankan tantangan mendasar yang dihadapi jika produksi iPhone dipindahkan ke AS.

Alasan Pemilihan China: Lebih dari Sekadar Tenaga Kerja Murah

Alasan utama Apple memilih China bukanlah semata-mata karena biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Steve Jobs, dalam percakapannya dengan Barack Obama pada tahun 2010, secara blak-blakan menyatakan bahwa Amerika Serikat kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang terlatih dalam jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaan seperti Apple. Saat itu, Apple mempekerjakan sekitar 700.000 pekerja pabrik di China dan membutuhkan 30.000 teknisi di lokasi untuk mendukung operasional tersebut. Jobs meragukan ketersediaan tenaga kerja terampil sebanyak itu di Amerika Serikat.

Tim Cook memperkuat argumen ini dalam sebuah wawancara dengan Fortune pada tahun 2017. Ia menjelaskan bahwa Apple mengandalkan negara-negara seperti China bukan hanya karena tenaga kerja murah, tetapi karena kualitas dan kuantitas tenaga kerja terampil yang tersedia. Keterampilan dan keahlian yang mendalam dalam bidang perkakas presisi (precision tooling) menjadi faktor penentu.

Cook menggambarkan betapa rumitnya proses pembuatan iPhone. Produk Apple memerlukan perkakas yang sangat canggih dengan tingkat presisi tinggi. Keterampilan dalam pengerjaan material yang digunakan juga sangat tinggi, dan China memiliki keunggulan dalam hal ini. Ia bahkan mengilustrasikan perbedaan ketersediaan tenaga ahli dengan mengatakan bahwa di Amerika Serikat, pertemuan teknisi mungkin tidak dapat memenuhi satu ruangan, sementara di China, jumlah teknisi dapat memenuhi beberapa lapangan sepak bola.

India dan Vietnam: Alternatif yang Berkembang

Selain China, Apple juga mulai melirik negara-negara lain seperti India dan Vietnam sebagai alternatif lokasi produksi. Namun, skala produksi di kedua negara ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan China. Sekitar 85% iPhone masih diproduksi di Tiongkok, menunjukkan ketergantungan yang signifikan pada rantai pasokan yang telah terbangun di sana selama bertahun-tahun.

Masa Depan Manufaktur iPhone

Masa depan manufaktur iPhone masih menjadi pertanyaan terbuka. Meskipun ada tekanan politik dan upaya untuk merelokasi produksi ke Amerika Serikat, tantangan struktural terkait ketersediaan tenaga kerja terampil dan rantai pasokan yang mapan masih menjadi kendala utama. Apple kemungkinan akan terus menyeimbangkan antara diversifikasi lokasi produksi dan mempertahankan efisiensi yang telah dicapai di China, India, dan Vietnam. Investasi berkelanjutan dalam pelatihan dan pengembangan tenaga kerja di negara-negara selain China akan menjadi kunci untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara dan membangun rantai pasokan yang lebih resilien.