Kasus Pemerkosaan Anak Yatim di Karawang: Kekecewaan Keluarga dan Proses Hukum yang Mandek
Kasus Pemerkosaan Anak Yatim di Karawang: Kekecewaan Keluarga dan Proses Hukum yang Mandek
Seorang anak perempuan di bawah umur di Karawang, Jawa Barat, menjadi korban perkosaan oleh tiga pemuda hingga mengalami kehamilan. Kejadian yang berlangsung pada Agustus 2024 di area belakang GOR Adiarsa ini telah dilaporkan ke pihak berwajib lima bulan lalu, namun hingga kini proses hukumnya masih berjalan lambat dan menimbulkan kekecewaan mendalam bagi keluarga korban. Korban, seorang anak yatim yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), kini tengah mengandung buah dari kekerasan seksual yang dialaminya. Kehamilannya telah mencapai enam bulan.
Ibu korban, yang hanya diketahui berinisial D, mengungkapkan rasa frustrasi dan keputusasaannya. Ia mengaku telah melaporkan kasus ini sejak lima bulan yang lalu, namun perkembangannya sangat minim. Lebih mengejutkan lagi, salah satu pelaku, berinisial A, telah melangsungkan pernikahan bulan lalu. Hal ini semakin memperparah luka batin keluarga korban dan menguatkan kecurigaan akan adanya upaya melindungi pelaku. D menjelaskan, para pelaku telah mengakui perbuatannya, namun salah satu orangtua pelaku menolak bertanggung jawab dengan dalih anaknya masih di bawah umur. Pernyataan ini semakin menggarisbawahi ketidakadilan yang dirasakan keluarga korban.
Kronologi kejadian bermula ketika korban tengah bermain bersama adiknya. Ketiga pelaku, yang dikenal dengan inisial I, A, dan L, mendekati dan melakukan tindakan kekerasan seksual. Dua dari pelaku, I dan L, diketahui masih berusia di bawah umur. Korban dan pelaku tidak saling mengenal sebelumnya. Menurut keterangan D, pelaku L melakukan pemerkosaan sebanyak dua kali. “Mereka terus mendekati, anak saya berteriak lalu tangannya dipegang, mulutnya sampai tidak bisa bernapas,” ungkap D, menggambarkan kepanikan yang dialami putrinya saat kejadian. Kejadian ini meninggalkan trauma mendalam bagi korban yang kini harus menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan di usia muda.
Pihak Kepolisian Resort (Polres) Karawang melalui Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Ipda Rita Zahara, menyatakan bahwa kasus ini telah diproses dan telah naik ke tahap penyidikan. Namun, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan realita yang dialami keluarga korban. Ipda Rita membantah adanya upaya mediasi antara korban dan pelaku yang difasilitasi oleh pihak kepolisian. “Kalau kami tidak ada mediasi. Maksudnya tidak ada memfasilitasi mediasi,” tegas Ipda Rita. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan efektivitas proses hukum yang tengah berjalan.
Kejadian ini menyoroti pentingnya perlindungan terhadap anak-anak, khususnya korban kekerasan seksual. Lambannya proses hukum dan dugaan adanya upaya melindungi pelaku menimbulkan keresahan dan mempertanyakan komitmen penegak hukum dalam memberikan keadilan bagi korban. Keluarga korban berharap agar kasus ini dapat diselesaikan secara tuntas dan pelaku dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya. Mereka juga menginginkan agar kasus serupa tidak terulang kembali dan anak-anak mendapatkan perlindungan hukum yang lebih efektif dan berpihak pada korban.
Catatan: Nama korban dan beberapa detail telah diubah untuk melindungi identitasnya.