Kisah Sa'duni: Pemulung Sumenep Tak Hiraukan Makna Seragam Korpri, Asalkan Nyaman Dipakai

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kisah seorang pemulung di Sumenep, Jawa Timur, menyentuh hati. Sa'duni, seorang wanita berusia 50 tahun, tak pernah mengira seragam lusuh yang ia temukan di tempat sampah ternyata adalah seragam kebanggaan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Baginya, pakaian itu hanyalah selembar kain yang melindunginya dari terik matahari dan dinginnya malam.

Sa'duni, warga Desa Torbang, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep, telah lebih dari satu dekade berjuang mencari nafkah sebagai pemulung di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Desa Torbang. Setiap hari, ia menyusuri gunungan sampah, memilah rongsokan yang masih bernilai jual. Pekerjaan ini ia lakoni seorang diri setelah menjadi janda 12 tahun silam.

Suatu hari, di antara tumpukan sampah, ia menemukan sebuah baju berwarna biru muda dengan motif batik. Baju itu tampak longgar dan nyaman. Tanpa mengetahui maknanya, Sa'duni mengambil dan mencucinya. Sejak saat itu, seragam Korpri yang ia temukan menjadi pakaian sehari-harinya.

"Baju ini enak dipakai, longgar," ujarnya sambil terkekeh kecil, menunjukkan ketidaktahuannya tentang simbol yang melekat pada seragam tersebut.

Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), seragam Korpri adalah identitas dan kebanggaan. Seragam ini dikenakan setiap tanggal 29 November sebagai Hari Korpri. Namun, bagi Sa'duni, seragam itu hanyalah pakaian biasa, sama seperti baju-baju lain yang ia temukan di TPA.

Di TPA, Sa'duni sering menemukan berbagai macam pakaian, mulai dari baju, celana, topi, hingga mukena. Jika masih layak pakai, ia akan mencucinya dan memakainya kembali. Ia tidak peduli apakah pakaian itu untuk laki-laki atau perempuan. Baginya, yang terpenting adalah pakaian itu dapat menutupi tubuh dan melindunginya dari cuaca.

Penghasilan Sa'duni sebagai pemulung tidak menentu. Kadang ia bisa membawa pulang Rp30.000 sehari, namun lebih sering hanya Rp10.000. Jumlah yang sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Kalau sampai harus dandan, tidak cocok sama pekerjaannya, Dek," katanya dengan nada pasrah.

Meski hidup dalam keterbatasan, Sa'duni tetap tegar dan bersyukur. Ia tidak pernah mengeluh tentang nasibnya. Ia hanya berharap di usia senjanya nanti dapat hidup lebih layak.

Seperti pemulung lainnya, Sa'duni berharap pemerintah dapat memberikan perhatian dan bantuan, minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar atau memberikan pekerjaan yang lebih stabil.

"Saya pasrah pakai baju apa saja, Dek. Yang penting sehat, bisa mulung rongsokan, itu sudah bersyukur," pungkasnya.

Kisah Sa'duni adalah potret kehidupan seorang pemulung yang berjuang mencari nafkah di tengah kerasnya kehidupan. Ia tidak peduli dengan simbol-simbol atau status sosial. Yang terpenting baginya adalah dapat bertahan hidup dan bersyukur atas apa yang ia miliki.

Berikut adalah poin-poin penting dari kisah Sa'duni:

  • Keterbatasan Ekonomi: Sa'duni hidup dalam keterbatasan ekonomi dan harus bekerja sebagai pemulung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
  • Ketidaktahuan: Sa'duni tidak mengetahui makna seragam Korpri yang ia temukan di tempat sampah.
  • Kemandirian: Sa'duni berjuang seorang diri setelah menjadi janda selama 12 tahun.
  • Kesederhanaan: Sa'duni tidak peduli dengan penampilan atau status sosial. Yang terpenting baginya adalah dapat bertahan hidup.
  • Harapan: Sa'duni berharap pemerintah dapat memberikan perhatian dan bantuan kepada pemulung seperti dirinya.
  • Bersyukur: Sa'duni selalu bersyukur atas apa yang ia miliki, meskipun hidup dalam keterbatasan.