Skandal Suap CPO: Ketua PN Jaksel Jadi Tersangka, Reformasi Peradilan Kembali Dipertanyakan

Ketua PN Jaksel Tersangka Suap CPO, Integritas Peradilan Tercoreng

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) telah mengguncang dunia peradilan. Insiden ini menjadi tamparan keras bagi upaya reformasi lembaga peradilan yang selama ini digadang-gadang, sekaligus memicu pertanyaan mendalam tentang integritas dan independensi hakim di Indonesia.

Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, dengan tegas menyatakan bahwa penangkapan ini mengindikasikan pekerjaan rumah besar dalam pembenahan lembaga peradilan belum ditangani secara serius. "Terlebih, apabila benar Kejaksaan mampu membuktikan suap ini dilakukan atas proses hukum perkara korupsi. Artinya, adanya korupsi dalam penanganan kasus korupsi," ujarnya, menyoroti ironi yang sangat memprihatinkan.

Kejaksaan Agung Bertindak, Mafia Peradilan Terungkap?

Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak hanya menetapkan Muhammad Arif Nuryanta sebagai tersangka, tetapi juga tiga individu lainnya, yaitu Panitera Muda Perdata Jakarta Utara berinisial WG, Kuasa Hukum Korporasi Marcella Santoso, dan seorang advokat berinisial AR. Mereka diduga kuat terlibat dalam praktik korupsi berupa suap dan gratifikasi dengan tujuan memuluskan perkara yang dihadapi oleh tiga korporasi besar: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan bukti yang cukup terkait tindak pidana suap dan gratifikasi dalam penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini bermula dari dugaan pemberian fasilitas ekspor CPO yang melibatkan tiga korporasi tersebut pada periode Januari 2021 hingga Maret 2022.

Kronologi Kasus dan Dampaknya

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari laman resmi Mahkamah Agung, pada 19 Maret 2025, ketiga korporasi tersebut sempat dibebaskan dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Padahal, JPU sebelumnya menuntut para terdakwa dengan denda dan uang pengganti yang jumlahnya fantastis:

  • Wilmar Group: Denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 11.880.351.802.619, dengan ancaman pidana penjara 19 tahun bagi Direktur Tenang Parulian jika tidak dibayarkan.
  • Permata Hijau Group: Denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 937.558.181.691,26, dengan ancaman pidana penjara 12 bulan bagi pengendali korporasi David Virgo jika tidak dibayarkan.
  • Musim Mas Group: Denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 4.890.938.943.794,1, dengan ancaman pidana penjara 15 tahun bagi para pengendali, termasuk Direktur Utama Ir. Gunawan Siregar, jika tidak dibayarkan.

Para terdakwa dijerat dengan dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001.

Lakso Anindito menekankan bahwa penangkapan Ketua PN Jaksel ini harus menjadi momentum bagi Kejaksaan, KPK, dan lembaga anti-korupsi lainnya untuk fokus memberantas korupsi di lembaga penegak hukum. Ia juga mendesak Mahkamah Agung untuk mengambil langkah radikal dalam menyelesaikan persoalan korupsi di lembaga pengadilan, termasuk melibatkan pihak eksternal dalam proses reformasi untuk menunjukkan keseriusan dan mendorong independensi penanganan.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari internal lembaga penegak hukum itu sendiri. Jika tidak, maka keadilan hanya akan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh masyarakat.