Mencari Paradigma Baru Pembangunan Global di Era Pasca-Hegemoni AS

Dominasi Amerika Serikat sebagai arsitek tatanan global pasca-Perang Dunia II perlahan menunjukkan tanda-tanda keruntuhan. Selama lebih dari tujuh dekade, model pembangunan yang diusung AS—berbasis demokrasi liberal, pasar bebas, dan pertumbuhan ekonomi tak terbatas—menjadi acuan utama bagi banyak negara. Namun, dampak dari model ini mulai dipertanyakan seiring dengan munculnya krisis multidimensi, mulai dari kerusakan lingkungan, kesenjangan sosial, hingga kehancuran tatanan nilai kemanusiaan.

Kebijakan proteksionis yang diambil pemerintahan Donald Trump pada 2025 menjadi titik balik signifikan. Langkah tersebut tidak hanya mengubah peta perdagangan global, tetapi juga memicu pertanyaan mendasar tentang masa depan pembangunan dunia. Tanpa kepemimpinan tunggal AS, muncul kekosongan dalam tata kelola global yang selama ini diisi oleh institusi seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Kekosongan ini membuka peluang sekaligus tantangan untuk merumuskan paradigma pembangunan baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

  • Krisis ekologis menjadi salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi. Model pembangunan konvensional terbukti gagal memitigasi dampak kerusakan lingkungan.
  • Ketimpangan sosial yang semakin melebar menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.
  • Kelelahan struktural dalam sistem ekonomi global membuat banyak negara terjebak dalam siklus utang dan ketergantungan.

Transisi menuju pembangunan berkelanjutan memerlukan lebih dari sekadar perubahan kebijakan. Dibutuhkan perombakan mendasar terhadap logika ekonomi yang selama ini mendasari sistem global. Selama insentif ekonomi masih berorientasi pada akumulasi kapital, solusi seperti energi terbarukan atau ekonomi hijau hanya akan menjadi alat legitimasi baru bagi sistem yang eksploitatif. Nilai-nilai seperti keadilan ekologis, solidaritas sosial, dan keseimbangan hidup harus menjadi fondasi utama dalam merancang model pembangunan alternatif.

Multipolaritas dunia pasca-AS juga menyimpan risiko geopolitik. Tanpa kerangka etika yang jelas, pergeseran kekuasaan bisa memicu persaingan baru yang justru memperburuk ketidakstabilan global. Oleh karena itu, reformasi institusi internasional seperti PBB, IMF, dan WTO menjadi langkah krusial untuk memastikan bahwa tatanan baru tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Sistem perdagangan global, misalnya, perlu memasukkan biaya sosial dan lingkungan dalam kalkulasi ekonominya.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab bersama adalah: bagaimana mengukur kemajuan suatu masyarakat? Apakah Produk Domestik Bruto (PDB) masih relevan sebagai indikator utama, atau sudah saatnya beralih ke parameter yang lebih holistik, seperti ketahanan komunitas, kesehatan ekosistem, dan kualitas relasi manusia dengan alam? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah pembangunan global di dekade-dekade mendatang.