Membongkar Praktik Suap dalam Lembaga Peradilan: Keadilan yang Terjual Beli
Kasus suap di lingkungan peradilan Indonesia kembali mencuat ke permukaan, menguak praktik korupsi yang telah menggerogoti pilar penegakan hukum. Dugaan suap senilai Rp22,5 miliar yang melibatkan ketua pengadilan negeri dan tiga hakim di Jakarta Selatan menjadi bukti nyata bagaimana putusan pengadilan dapat dibeli. Kasus ini bukan yang pertama, mengingat sebelumnya telah terungkap praktik serupa di Surabaya dengan nilai transaksi Rp20 miliar, serta di Mahkamah Agung dengan modus serupa.
Transaksi gelap dalam sistem peradilan tidak hanya merusak tatanan hukum, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik. Survei Global Corruption Barometer Transparency International (2023) menunjukkan bahwa 36% masyarakat Indonesia meyakini adanya praktik korupsi di kalangan hakim dan aparat pengadilan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (15%) atau Jerman (kurang dari 10%).
Beberapa langkah mendesak perlu segera diambil untuk memulihkan integritas lembaga peradilan:
- Reformasi sistem seleksi hakim dengan penekanan pada uji integritas dan verifikasi kekayaan
- Implementasi teknologi pemantauan seperti rekaman sidang digital dan sistem pelacakan putusan berbasis AI
- Penguatan lembaga pengawas dengan perluasan kewenangan investigasi
- Pendidikan karakter hukum sejak dini melalui kurikulum sekolah
- Perlindungan whistleblower dan jurnalis investigasi
Praktik suap yang sistemik telah mengubah pengadilan dari tempat mencari keadilan menjadi pasar gelap dimana putusan hukum diperjualbelikan. Tanpa perubahan mendasar, keadilan hanya akan menjadi ilusi bagi masyarakat biasa yang tidak mampu membayar harga sebuah kebenaran.