Perhapi Desak Pemerintah Bertindak Tegas Atas Maraknya Tambang Ilegal di Kalimantan Tengah
Jakarta – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyerukan langkah tegas pemerintah untuk mengatasi praktik pertambangan ilegal yang kian merajalela di wilayah Kalimantan Tengah, terutama di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas ini telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dengan lebih dari 41.000 hektar lahan terdampak berdasarkan pantauan satelit Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Eva Djauhari, Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Perhapi, menyatakan bahwa praktik pertambangan tanpa izin (PETI) tidak hanya merusak ekosistem alami tetapi juga mengancam tata kelola pertambangan berkelanjutan. "Ini bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan juga kejahatan terstruktur yang merugikan negara dan masyarakat," tegas Eva dalam pernyataan resminya. Ia menambahkan, dampak dari PETI mencakup kerugian finansial negara, degradasi lingkungan, serta risiko keselamatan bagi warga sekitar.
Perhapi mengajukan tiga rekomendasi utama kepada pemerintah:
- Penghentian Segera Aktivitas PETI: Termasuk di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas.
- Penertiban Terpadu: Melibatkan aparat penegak hukum, Kementerian ESDM, KLHK, dan pemerintah daerah.
- Penegakan Hukum: Terhadap aktor-aktor utama di balik operasi tambang ilegal.
Eva menekankan bahwa UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur sanksi pidana bagi pelaku PETI, termasuk hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Selain itu, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga memberikan dasar hukum yang kuat untuk menindak pelaku perusakan lingkungan.
"Pembiaran terhadap PETI adalah pengkhianatan terhadap konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," ujar Eva. Ia juga menyoroti potensi pendapatan negara yang hilang akibat praktik ilegal ini, terutama di tengah melambungnya harga emas global.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa PETI telah teridentifikasi di 2.741 lokasi, dengan 1.215 di antaranya ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Bambang Suswantono, PLT Ditjen Minerba ESDM, sebelumnya menyatakan bahwa pelaku PETI seringkali berasal dari masyarakat yang kurang memiliki akses pekerjaan formal. "Diperlukan pendekatan holistik, termasuk pembinaan dan alternatif mata pencaharian, untuk mengatasi akar masalah ini," tambahnya.