Pernikahan Unik dengan Pengantin Pria Digantikan Keris di Tengah Kasus Hukum

Lombok Barat, NTB – Sebuah pernikahan adat Hindu Bali yang tidak biasa digelar di tengah proses hukum yang masih berlangsung. I Wayan Agus Suwartama (IWAS), seorang pria difabel tanpa tangan yang saat ini menjadi terdakwa kasus pelecehan seksual, resmi menikah dengan Ni Luh Nopianti. Meski tidak dapat hadir secara fisik karena ditahan di Rutan Kelas IIA Kuripan, prosesi pernikahan tetap dilaksanakan dengan menggantikan posisi mempelai pria menggunakan sebilah keris yang dibungkus kain putih.

Menurut Ainuddin, pengacara IWAS, pernikahan ini sah secara adat melalui tradisi Widhi Widana. "Karena Agus masih dalam proses peradilan, tidak ada halangan untuk melangsungkan pernikahan adat Bali," ujarnya. Acara tersebut dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak, tokoh agama, serta perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Pernikahan ini telah direncanakan sebelum Agus terlibat dalam kasus hukum.

Prosesi Sah Adat namun Belum Administratif

Ainuddin menegaskan bahwa pernikahan ini baru sah secara adat dan belum tercatat secara administratif. "Jika Agus divonis bebas, ia bisa keluar. Namun jika bersalah, Ni Luh harus menunggu hingga ia bebas," jelasnya. Pernikahan secara administratif baru bisa dilaksanakan setelah proses hukum selesai.

Kasus Hukum yang Menghantui

IWAS saat ini sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Mataram dengan dakwaan melanggar UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jika terbukti bersalah, ia menghadapi hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Kasus ini bermula dari laporan seorang mahasiswi berinisial MA, yang kemudian diikuti oleh pengakuan 15 korban lainnya.

Tradisi Nganten Keris dalam Budaya Bali

Prosesi pernikahan ini dikenal sebagai Nganten Keris, sebuah tradisi Bali yang dilakukan ketika mempelai pria tidak dapat hadir. Keris dianggap sebagai simbol purusa (roh laki-laki) dan kekuatan Sang Hyang Purusa. Ketua PHDI Bali, Nyoman Kenak, menjelaskan bahwa tradisi ini memberikan kepastian hukum adat dan perlindungan bagi perempuan. "Kita harus melindungi perempuan dari diskriminasi," tegasnya.

Meski unik, pernikahan ini menjadi bukti bahwa adat dan hukum dapat berjalan beriringan dalam situasi yang kompleks.