Pro Kontra Pemanfaatan Tenaga Non-Medis dalam Layanan Kesehatan Gigi di Puskesmas
Kebijakan kontroversial yang diusulkan oleh Menteri Kesehatan mengenai pemanfaatan tenaga non-medis dalam pelayanan kesehatan gigi di fasilitas kesehatan dasar terus menuai polemik. Rencana ini muncul sebagai respons atas fakta bahwa sekitar 30% puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter gigi, sementara masalah kesehatan gigi mendominasi hasil pemeriksaan kesehatan gratis.
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) secara tegas menolak usulan ini dengan alasan profesionalisme dan keselamatan pasien. Ketua Umum PDGI menegaskan bahwa praktik kedokteran gigi harus dilakukan oleh tenaga yang memiliki pendidikan formal dan kompetensi memadai. Berikut poin-poin penolakan dari PDGI:
- Status legal: Tukang gigi tidak termasuk dalam kategori tenaga kesehatan resmi
- Kompetensi: Tidak memiliki pemahaman anatomi, patologi, dan pengendalian infeksi
- Risiko hukum: Praktik ilegal dapat berujung pada tuntutan pidana
- Proses pendidikan: Menjadi dokter gigi memerlukan pendidikan panjang dan standar ketat
Regulasi yang berlaku saat ini, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2014, hanya memperbolehkan tukang gigi untuk membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sederhana tanpa tindakan medis. Sementara UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 mewajibkan praktisi kesehatan gigi memiliki surat tanda registrasi dan izin praktik.
Menteri Kesehatan dalam pernyataannya mengakui adanya tantangan dalam penyediaan layanan kesehatan gigi, terutama terkait mahalnya pendidikan dokter gigi dan minimnya tenaga profesional di puskesmas. Namun, solusi yang ditawarkan dengan memanfaatkan tenaga non-profesional ini dinilai banyak pihak sebagai langkah kontraproduktif yang justru dapat menimbulkan risiko kesehatan masyarakat.