Dilema Pekerja Remote: Stigma Sosial dan Tantangan di Era Digital

Jakarta - Niko (30), seorang pekerja lepas berbasis kecerdasan buatan (AI), menghadapi tantangan unik dalam kariernya. Meski memiliki penghasilan tetap, ia sering dianggap pengangguran oleh keluarga karena bekerja dari rumah. "Keluarga mengira saya tidak bekerja karena tidak pernah keluar rumah. Penjelasan tentang pekerjaan saya pun sulit mereka pahami," ungkap Niko dalam sebuah wawancara.

Niko bekerja sebagai data curator untuk sebuah platform berbasis di Eropa. Pekerjaan ini mengharuskannya selalu siap di depan laptop, bahkan di jam-jam tidak lazim seperti dini hari. "Persaingannya ketat. Jika tidak cepat, proyek akan diambil pekerja dari negara lain," jelasnya. Tantangan bertambah dengan tekanan budaya sebagai pria Batak yang diharapkan menjadi tulang punggung keluarga.

Berikut beberapa tantangan yang dihadapi Niko: - Stigma sosial terhadap pekerja remote - Perbedaan jam kerja mengikuti zona waktu Eropa - Persaingan global dengan pekerja dari negara lain - Tekanan budaya sebagai pria Batak

Menyadari proyek AI semakin langka, Niko mulai mencari pekerjaan tetap melalui job fair. "Saya terbuka untuk bidang apapun yang menawarkan status karyawan tetap," katanya. Job fair yang diadakan Pemprov Jakarta ini melibatkan 30 perusahaan nasional dan multinasional, termasuk kesempatan kerja di luar negeri.

Pengalaman Niko mencerminkan dilema banyak pekerja digital di Indonesia. Di satu sisi, teknologi memungkinkan kerja fleksibel. Di sisi lain, penerimaan masyarakat terhadap bentuk pekerjaan baru ini masih terbatas. Program job fair seperti ini menjadi jembatan antara kebutuhan pasar kerja modern dengan ekspektasi tradisional masyarakat.